Rekayasa Meme Atas Kehidupan Kita  

Diposting oleh Ivan Istyawan

Keenan dan Memetika
(Published - Pikiran Rakyat, 26 Nov 2007)


Dua tahun terakhir ini, dunia saya diinvasi diam-diam. Keenan, anak saya, dengan caranya sendiri telah mendominasi semesta kecil keluarga kami. Dengan caranya sendiri, ia memilih menjadi vegetarian sejak usia satu tahun. Dan kini, ia mereformulasi dunia kami dengan cara menjajah satu-satunya televisi di rumah.

Keenan tergila-gila Baby Einstein sejak usianya enam bulan. Umur satu tahun, ia mulai menyukai Elmo. Baru-baru ini ia memuja Barney dan Teletubbies. Secara berangsur, jatah kami menonton teve berkurang, hingga nyaris tidak pernah sama sekali. Saya tidak ingat kapan persisnya efek cuci otak yang dilakukan Keenan mulai menunjukkan hasil. Namun belakangan saya tersadar anak itu telah melakukan uji coba memetika yang efektif.

Singkat kata, memetika adalah ilmu yang mendedah ‘mem’ sebagai bahan baku dasar pembentuk mental, sebagaimana genetika mendedah gen sebagai bahan baku dasar pembentuk kehidupan fisik. Replikasi mental merupakan kemampuan yang memisahkan manusia dengan primata lain. Bahasa, budaya, agama, merupakan produk-produk yang dimungkinkan karena adanya replikasi mem, seperti halnya gen bereplikasi membentuk gugusan sel hingga menjadi tubuh yang mampu bereproduksi dan mempertahankan diri.

Sebagai spesies yang bertarung melawan alam selama jutaan tahun, agenda genetika selalu menggiring kita untuk bereaksi kuat terhadap isu seks, makanan, dan bahaya. Seiring dengan itu, tombol primordial memetika tak pelak adalah: kemarahan, ketakutan, kelaparan, dan nafsu birahi. Menarik untuk direnungkan bahwa yang membuat sebuah informasi berkembang sesungguhnya bukan persoalan ‘penting’ dan ‘tidak penting’, ‘berguna’ dan ‘tidak berguna’, melainkan seberapa banyak tombol primordial kita yang ditembaknya sekaligus.

Para pengiklan tahu bahwa siluet tubuh perempuan bisa membantu penjualan sebuah mesin pompa air, yang sesungguhnya tidak punya hubungan langsung dengan lekuk pinggul dan belahan dada. Mereka juga bisa menyembunyikan bahaya rokok dalam sosok laki-laki gagah yang berarung jeram di alam nan indah. Begitu juga dengan liputan berita yang kerap menciptakan suasana kritis agar pemirsa merasa terdesak dan tercekam. Reporter berwajah santai dan mengatakan ‘semua baik-baik saja’ tidak akan menularkan mem kuat yang menjadikan berita itu punya nilai penting (atau tepatnya nilai jual).

Seberapapun hebat urgensi yang ditawarkan, apa yang kita konsumsi seringkali bukanlah apa yang kita butuhkan. Ini mengingatkan saya pada penelitian Masaru Emoto; bagaimana molekul air rusak ketika didekatkan pada teve yang memutar adegan kekerasan, dan sebaliknya, molekul air membentuk gugus heksagonal saat diputarkan dokumenter alam. Tampilan dunia yang baik-baik saja ternyata memperbaiki tubuh kita sampai level molekular, sementara dunia yang keras dan bahaya—walau rating-nya lebih tinggi—ternyata merusak kita sama besarnya.

Virus pikiran juga bekerja melalui asosiasi dan repetisi. Ketika artis-artis yang bercerai habis-habisan diekspos, orang mulai percaya bahwa artislah jenis manusia yang paling rentan kawin cerai, bahkan memotori rakyat untuk ikut tren sama. Padahal jumlah artis yang bercerai hanyalah noktah tak berarti dibandingkan kasus perceraian yang terjadi di masyarakat umum.

Patriotisme sebagai nilai tidak muncul spontan sejak kita lahir. Kita diprogram melalui repetisi upacara setiap Senin pagi dan penataran Pancasila setiap naik jenjang sekolah. Keinginan beragama tidak muncul begitu saja, seorang anak diprogram mulai dari nol melalui repetisi dan asosiasi tentang adanya hadiah bernama surga, hukuman bernama neraka, dan bos besar yang lebih berkuasa daripada orang tuanya bernama Tuhan.

Memetika sebagai ilmu yang relatif masih muda mampu memberi perspektif segar untuk memilih, memilah, bahkan berhenti sejenak dari bombardir informasi yang menginvasi pikiran kita. Tidak heran jika dalam hampir semua buku memetika yang saya baca, meditasi selalu jadi bahasan penutup, semacam antiviral yang dianjurkan. Bukan karena meditasi adalah bagian dari mem religi tertentu, tapi itulah satu-satunya metode yang membalikkan proses invasi mem: hening, diam, mengamati, tanpa bereaksi.

Hanya melalui percakapan-percakapan insidental saya jadi tahu kalau dua anggota Peter Pan telah keluar, dan telah terjadi kolaborasi dukun-dukun ilmu hitam untuk mencelakakan Bush. Saya kangen menonton Oprah, Discovery Channel, National Geographic, yang ikut dikorbankan akibat blokade teve Keenan. Dan jujur, saya cukup penasaran apakah usaha para dukun itu berhasil atau tidak. Namun saya berterima kasih pada kesempatan yang Keenan beri melalui program memetikanya: sebuah dunia tanpa kekerasan, tanpa akting hiperbolis yang memualkan, tanpa roh halus dan pemburu hantu, tanpa gosip yang tak perlu, tanpa rentetan iklan yang bikin jemu. Dan terkadang membuat saya berpikir, jika kita bisa demikian bersemangat menyerukan perdamaian dunia, mengapa kita tidak sungguh-sungguh ‘menciptakannya’ dari rumah sendiri? Barangkali yang dibutuhkan adalah para pemimpin dunia dengan program memetika yang tepat; yang tertawa bersama Elmo, bernyanyi bersama Barney, dan berpelukan dengan para Teletubbies.


* Buku tentang memetika yang paling mudah dicerna dari Richard Brodie untungnya sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia (judul asli: Virus of The Mind – The New Science of the Meme), sementara buku yang tak terlampau mudah tapi amat sangat patut dibaca salah satunya ditulis oleh Richard Dawkins (The Selfish Gene) dan muridnya, Susan Blackmore (The Meme Machine).

This entry was posted on 07.58 . You can leave a response and follow any responses to this entry through the Langganan: Posting Komentar (Atom) .

0 komentar