Awas Virus “Budaya Pop”!  

Diposting oleh Ivan Istyawan



Oleh Ridho Al-Hamdi

Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah

Budaya, menurut John Storey dalam bukunya yang berjudul Teori Budaya dan Budaya Pop, bisa dipahami sebagai kebiasaan berupa praktik-praktik dalam keseharian, misal liburan ke pantai, perayaan ulang tahun, tujuh belas agustusan, dan aktivitas lainnya. Kata “pop” singkatan dari “popular” yang arti sederhadanya adalah disukai oleh banyak orang. Karena itu, budaya pop bisa bermakna budaya yang disukai oleh banyak orang dan menyenangkan.

Kita bisa melihat budaya pop pada laku kerasnya penjualan buku Harry Potter atau larisnya film Titanic dan The Lord of The Ring. Jika di Indonesia mungkin best seller-nya buku Laskar Pelangi dan boomingnya film Ada Apa dengan Cinta dan Heart. Dalam dunia musik, Dewa, Padi, dan Sheila on 7 pernah mewarnai dunia band atau akhir-akhir ini terjadi juga pada Ungu, Letto, Radja, Peter Pan, dan lain sebagainya. Dunia-dunia seperti itulah dunia yang disukai oleh anak-anak pelajar.

Dengan mengacu pada contoh-contoh di atas, budaya pop bisa juga berarti budaya tinggi tertutama pada kasus penjualan buku, rekaman, dan juga rating audiens televisi yang dinyatakan sebagai budaya pop.

Istilah lain dalam budaya pop adalah budaya massa, yaitu budaya yang diproduksi oleh massa untuk konsumsi massa. Budaya massa adalah budaya yang dianggap sebagai dunia impian secara kolektif, misalnya hiking ke pegunungan, liburan ke pantai, dan merayakan valentine day bersama pacar. Budaya seperti ini seolah memberi impian bagi anak-anak muda akan dunia yang serba enak dan menyenangkan.

Aku Bergaya, Maka Aku Ada!

Urusan bergaya sudah mulai menjadi pusat perhatian yang amat serius dari kalangan anak muda. Bagi Idi Subandi Ibrahim, pakar cultural studies, pertumbuhan gaya-bergaya tidak bisa dilepaskan dari arus globalisasi ekonomi dan kapitalisme konsumsi yang ditandai dengan menjamurnya pusat-pusat perbelanjaan semacam Shopping Mall, industri mode atau fashion, industri kecantikan, industri kuliner, industri gosip, apartemen, kawasan huni mewah, real estate, gencarnya iklan barang-barang supermewah, liburan wisata ke luar negeri, serta berdirinya sekolah-sekolah mahal dengan label serba “plus”.

Anak-anak muda sekarang gandrung dengan merk asing, makanan serba instan (fast-food), telepon genggam (HP), dan tentunya serbuan gaya hidup lewat industri iklan dan televisi yang sudah sampai ke ruang-ruang kita yang paling pribadi, dan bahkan ke relung-relung jiwa kita yang paling dalam.

Belum lagi serbuan majalah-majalah mode dan gaya hidup dalam edisi bahasa Indonesia ke kalangan anak muda (khususnya ABG) baik pria maupun wanita yang berselera kelas menengah ke atas. Majalah-majalah itu menawarkan cita rasa dan gaya yang tinggi serta terlihat jelas dari kemasan, rubrik, kolom, dan slogan yang ditawarkannya, seperti “Be Smarter, Richer, & Sexier” atau “Get Fun!”.

Beragam majalah dengan kemasan yang tak kalah luks dengan media lainnya hadir di tengah anak muda yang sedang mencari identitas. Bacaan kawula muda ini lebih banyak menawarkan gaya hidup dengan budaya serba berselera di seputar tren busana, peroblema gaul, pacaran, shopping, dan acara mengisi waktu luang yang jelas perlahan tapi pasti akan ikut membentuk budaya anak muda yang berorientasi serba fun.

Di kalangan umat Islam, kini mulai marak iklan dan industri jasa yang menawarkan “wisata religius”, “paket spiritualisme dan sufisme”, umroh bersama kyai beken, berdirinya sekolah-sekolah Islam yang mahal berlabel “IT” alias Islam Termahal, cafe khusus muslim, menjamurnya kounter-kounter berlabel Exclusice Moslem Fashion, kegandrungan kelas menengah atas akan Moslem Fashion Show dan berdirinya pusat-pusat perbelanjaan yang memanfaatkan sensibilitas keagamaan untuk keuntungan bisnis.

Marak juga penerbitan majalah Islam (khususnya Muslimah) yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan majalah umum lainnya. Yang ditawarkan pun sama, mode, shopping, soal gaul, dan pacaran yang dianggap pengelolanya “yang Islami”. Slogan yang ditawarkan pun bermacam-macam: Jadilah Muslimah yang gaul dan smart! Jadilah Muslimah yang cerdas, dinamis, dan trendi! Jadilah cewek Muslimah yang proaktif dan ngerti fashion! Kini agama pun telah diperjualbelikan.

Persoalan gaya hidup sudah mulai menjadikan eksistensi seseorang lebih hidup. “Aku bergaya, maka aku ada! Slogan tersebut kini telah mewarnai dunia anak muda yang mereka telah menjadi target dari gaya hidup (lifestyles) glamour. Slogan di atas seolah-olah mengatakan bahwa kalau kamu tidak bergaya maka bersiap-siaplah untuk dianggap “tidak ada”: diremehkan, diabaikan, atau mungkin dilecehkan.

Selamat Menjadi Warga Pesolek

Kiranya alasan di atas menjadi dasar bahwa anak-anak muda sekarang perlu bresolek atau berias diri. Jadilah anak muda kita sebagai warga pesolek (dandy society). Kini, dunia gaya hidup sudah bukan milik artis, model, peragawan (wati) lagi, tetapi sudah ditiru secara kreatif oleh semua orang untuk tampil sehari-hari. Misal pergi ke tempat kerja, sekolah, seminar, arisan, undangan resepsi perkawinan, ceramah agama, atau sekadar jalan-jalan, mejeng, dan ngeceng di mall.

Anak-anak muda kita sudah benar-benar menjadi sasaran empuk bagi para pemodal industri tersebut. Mereka disajikan berbagai menu yang variatif dari ujung rambut sampai ujung kuku kaki. Produk-produk tersebut selalu menawarkan kepada anak-anak muda agar penampilan kulit, wajah, tubuh, dan rambutnya lebih cantik dan indah dipandang. Kehidupan mereka yang awalnya sederhana, kini berubah serba ingn modis tetapi karena melihat produk-produk tersebut. Mereka tidak sadar kalau mereka sedang dijajah oleh dunia pasar yang tidak terlihat di depan mata mereka. Inilah bentuk penjajahan baru.

Tampaknya urusan tampangisme dan wajahisme (lookism or faceism) sudah menjadi persoalan yang cukup serius. Tubuh memang barang yang mudah untuk diperjualbelikan dalam berbagai macam bentuk. Padahal tubuh bentuknya begitu-begitu saja, tidak berubah-ubah. Semua terbuat dari daging. Tetapi karena kreativitas para pemodal, tubuh yang kadang menjijikkan itu bisa menghasilkan uang dan harta berlimpah.

Kini anak muda sedang dalam cengkraman budaya pop, budaya yang mengikis secara perlahan-lahan kepribadian dan moral mereka untuk berorientasi hidup serba fun dan instan. Budaya ngepop selalu menghadirkan mimpi-mimpi yang melangit tetapi jauh dari realitas. Kita perlu sadar dan mencarbut bius budaya pop yang telah meninobobokan identitas kita. Dia adalah bahaya yang akan mengikis habis kepribadian kita. Awas bahaya virus “Budaya Pop”! Sekali terbius akan ketagihan dan tidak bisa keluar.

Sumber :WWW.IRM.OR.ID

This entry was posted on 23.04 . You can leave a response and follow any responses to this entry through the Langganan: Posting Komentar (Atom) .

0 komentar