Diposting oleh Ivan Istyawan

Oleh CAK HUREK

Ketika belasan lembaga swadaya masyarakat (LSM) peduli pekerja seks komersial (PSK) bertumbangan, datang dan pergi, Mbak Vera tetap masih bertahan. Tak terasa, perempuan bernama asli Lilik Sulistyowati ini sudah menghabiskan waktu 20 tahun untuk mendampingi ribuan PSK di Gang Dolly Surabaya.

“Yah, memang nggak terasa kalau tiap hari kita sibuk dengan kegiatan. Nggak nyangka saya sudah 20 tahun," ujar Mbak Vera yang saya temui di markas Yayasan Abdi Asih, Jl Dukuh Kupang Timur XII/31 Surabaya, Jawa Timur.

Yah, selama dua dekade Mbak Vera menjadi tempat ‘curhat’, berbagi rasa, sekian ribu PSK. Ketika para kupu-kupu malam ini dirazia, dipandang sebagai sampah masyarakat, Mbak Vera justru datang dengan semangat pelayanan. Para pekerja seks itu datang, cari uang, kembali ke kampung halaman, atau menapa hidup dan pekerjaan baru. Siklus yang terus berputar entah sampai kapan.

Taruhlah PSK di Gang Dolly dan sekitarnya 3.000, berapa banyak PSK yang sudah merasakan pendampingan Mbak Vera dan anak buahnya? “Wah, saya sendiri sudah tidak ingat lagi,” ujar istri M Sarjono (almarhum) ini, bangga.

Ia layak bangga karena Abdi Asih memang telah berhasil memberikan keterampilan dasar kepada PSK (memasak, menjahit, salon kecantikan, manajemen usaha) agar tidak terperangkap terlalu lama di Dolly.

Selama berbincang-bincang dengan saya, Jumat (1/2/2008), Mbak Vera selalu menyebut-nyebut nama Tuhan dan mengutip ayat kitab suci. Kenapa? Menurut Mbak Vera, eksistensi LSM Abdi Asih selama 20 tahun tidak lepas dari campur tangan Tuhan. Bahwa ia mesti melakukan sesuatu, meskipun kecil, untuk memberdayakan sekian banyak perempuan muda yang ‘kesasar’ di Gang Dolly.
Mbak Vera menegaskan, para PSK itu terpaksa melakoni pekerjaan itu karena terpaksa. Tidak ada perempuan waras yang mau terjun ke ‘lembah yang berlumpur dan bernoda’. “Nah, anak-anak ini sudah terjebak ke dalam. Pilihan kita tidak banyak: membiarkan mereka semakin terjebak, membantu mereka agar keluar dari jebakan, atau mencibir mereka?” ujar pekerja sosial yang fasih bicara ini.

Pada 13 Juli 1987, Mbak Vera merintis Yayasan Abdi Asih di Dukuh Kupang Timur. Kawasan ini tak seberapa jauh dari Gang Dolly dan Jarak, yang disebut-sebut sebagai sebagai kompleks pelacuran terbesar di Indonesia. [Beberapa pengamat malah bilang Dolly kompleks pelacuran terbesar di Asia Tenggara. Mana yang benar, silakan riset sendiri lah.]

“Saya mulai dari nol. Waktu itu masyarakat belum banyak tahu LSM. Apalagi, LSM yang langsung bergerak di lokalisasi, memberikan pendampingan kepada para pekerja seks. Waktu itu orang belum bicara HAM, hak asasi manusia. Sekarang di mana-mana orang ngomong HAM, HAM, HAM,” kenangnya.

Mbak Vera mengaku terenyuh ketika mengetahui banyak gadis-gadis muda dijual ke lokalisasi karena orangtuanya miskin. Istilah trafficking, menurut Vera, belum populer pada 1980-an, tapi praktiknya sudah berlangsung lama. Celakanya, ada ibu dan anak sama-sama menjadi pekerja seks di lokalisasi. Ini lingkaran setan yang tidak mudah diputuskan.

“Saya pikir, bagaimana mau maju kalau anak-anak muda itu terus-menerus berada di lokalisasi. Sampai kapan mereka menekuni pekerjaan seperti itu?” tutur ibunda anak kembar--Ani dan Ana--serta Rory ini.

Masih pada 1987, ada pengalaman luar biasa yang semakin memantapkan motivasinya untuk menjadi sahabat para PSK. Apa itu? Seorang PSK yang meninggal di pangkuan Mbak Vera. "Itu pengalaman traumatis, tapi membuat saya lebih peduli dan berani. Saya ingin mendampingi mereka," tutur Mbak Vera yang tak mampu melanjutkan kata-katanya.


Presiden Soeharto lengser pada 21 Mei 1998. Gerakan reformasi menang. Sayang, euforia reformasi ini dibarengi aksi perusakan dan anarkisme di mana-mana. Di beberapa daerah di Jawa Timur sejumlah kompleks pelacuran dirusak, dibakar, dan ditutup. Tekanan serupa terjadi di Surabaya meski hanya sebatas statemen atau teror psikologis.

Mbak Vera pun sibuk melayani panggilan DPRD Surabaya untuk dengar pendapat. Komisi E, dipimpin Hidayat Tauhid (alm), saat itu memang mendapat tekanan agar semua lokalisasi di Kota Surabaya ditutup. Alasannya macam-macam: bisnis maksiat, merusak moral, bercampur dengan perkampungan, memicu kriminalitas, dan sebagainya.

"Waktu itu saya harus bicara untuk memberikan wawasan kepada para pejabat, dewan, dan kalangan masyarakat tertentu," kenangnya.

Bukan itu saja. Mbak Vera beberapa kali mengajak para PSK dari Dolly dan sekitarnya untuk berdemonstrasi di kantor DPRD Surabaya. Hebatnya lagi, dia mengancam para PSK akan berunjuk rasa bugil jika DPRD ngotot menutup semua lokalisasi di Surabaya.

Seperti diketahui, isu penutupan lokalisasi kemudian timbul tenggelam dalam 10 tahun terakhir. Ramai sejenak, kemudian hilang, lalu timbul lagi seiring masuknya politisi baru di parlemen. Yang jelas, sikap Mbak Vera yang sangat ngotot membela PSK dan lokalisasi kemudian melahirkan berbagai cibiran dan gunjingan. Macam-macam lah tuduhan ke alamat Mbak Vera: memanfaatkan PSK untuk cari uang, terlibat jaringan PSK, bagian dari germo, jadi komoditas untuk menyedot dana dari luar negeri, melestarikan pelacuran, dan sebagainya.

Tanggapan Anda? "Saya sih cuek saja. Sebab, semua tuduhan itu sama sekali tidak benar. Mereka bilang begitu karena belum kenal saya. Demi Tuhan, saya tidak dapat uang sesen pun dari mucikari atau PSK," tegas Mbak Vera dengan nada tinggi.

Berdasarkan studi banding para aktivis LSM di Thailand dan beberapa negara lain, penutupan lokalisasi tak pernah menghentikan bisnis prostitusi. Maklum, profesi yang satu ini sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Kalaupun lokalisasi ditutup, PSK akan mencari jalan lain untuk menjajakan diri. "Nggak usah munafik lah. Jangan sok moralis. Mari kita melihat persoalan ini secara jernih," tuturnya.

Mbak Vera kemudian menyebut 20-an jenis pekerjaan yang terkait langsung atau tidak langsung dengan lokalisasi. Ribuan orang mencari makan dari sini. Saat ini PSK di Dolly sekitar 500, di Jarak 2.000-an. Angka kasarnya sekitar 3.000. "Itu PSK-nya thok. Berapa masyarakat lain di luar PSK yang cari makan berkat Gang Dolly dan Jarak? Ini yang harus dipikirkan. Apa pemerintah bisa mengatasi masalah sosial akibat penutupan lokalisasi?" tanya Mbak Vera.

Ini pula yang membedakan Gang Dolly (plus Jarak plus Kembang Kuning) dengan lokalisasi di beberapa daerah lain di Jatim. Menurut Vera, lokalisasi di tempat-tempat lain umumnya tidak dikehendaki warga sekitar atau setidaknya belum ada saling ketergantungan dengan profesi masyarakat. Sebaliknya, Gang Dolly yang eksis sejak 1960-an ibarat simbiosis mutualisme.

"Jadi, sebaiknya kita kembalikan kepada masyarakat. Saya sendiri tidak akan sedih kalau Dolly ditutup. Tapi saya sedih kalau anak-anak itu (PSK) berkeliaran di jalan, hotel, tidak terkontrol."

Sudah satu jam lebih kami berbincang sambil minum kopi di teras Yayasan Abdi Asih. "Mas Hurek, temani aku ke rumah belakang, ya," pinta Mbak Vera. Ternyata, dia hendak bertemu dengan pensiunan bea cukai, pemilik rumah yang dikontrak Mbak Vera sebagai markas Abdi Asih.

Singkat cerita, bos Yayasan Abdi Asih ini hendak menyelesaikan urusan kontrak rumah. Mbak Vera terlihat sedih. Matanya sembab kendati masih berusaha tersenyum. Si pemilik rumah memberi tenggat (deadline) satu minggu kepada Mbak Vera untuk menyetor uang muka Rp 30 juta. Kalau tidak, harus angkat kaki. “Sudah banyak kok orang yang nawar rumah itu. Saya juga perlu uang untuk umrah,” tegas pria 60-an tahun ditemani istrinya yang masih muda.

"Mas Hurek, saya akan hadapi semua ini. Saya percaya apa yang saya lakukan ini mendapat restu Tuhan yang Maha Esa. Dan, insya Allah, semua persoalan akan diselesaikan dengan baik," ujarnya, tegar.

Mbak Vera dan Yayasan Abdi Asih sudah mengabdi di kompleks Gang Dolly dan sekitarnya selama 20 tahun. Bagaimana masa depan yayasan ini? Akankah Mbak Vera masih punya stamina untuk melanjutkan pengabdiannya?

Seperti biasa, pertanyaan-pertanyaan ini dijawab Mbak Vera dengan optimistis. "Ini sudah menjadi panggilan hidup saya. Rupanya, Tuhan telah memakai saya untuk pelayanan macam ini."

Di tengah kesibukannya mendampingi para pekerja seks, Mbak Vera tak bisa melepaskan hobinya sejak kecil. “Mau tahu hobi saya? Masak. Pokoknya, sejak kecil saya ini sangat suka di dapur, masak apa saja,” ujar Mbak Vera lalu tertawa kecil.

Keterampilan memasak ini pelan-pelan ia tularkan kepada para PSK yang mengikuti sejumlah pelatihan di rumahnya. Ketika Mbak Vera asyik memasak, para pekerja seks ini secara spontan ikut membantu ibu tiga anak ini di dapur. Lalu, Vera mengajarkan cara memasak hidangan apa saja. Learning by doing lah!

Karena terlampau asyik berkutat di dapur, orang sering mengira Vera ke luar kota atau sedang ada penyuluhan atau advokasi PSK. Menurut dia, memasak merupakan salah satu keterampilan perempuan yang perlu ditularkan kepada siapa saja, khususnya anak-anak binaannya.

“Setelah mentas dari sini (Dolly), mereka kan bisa buka usaha katering, menjahit, dan sebagainya. Sudah banyak lho ‘anak-anak’ saya yang sukses buka warung,” tutur Mbak Vera dengan bangga.

Selain memasak, Mbak Vera mengaku punya menjahit. “Sejak kelas lima sekolah dasar (SD) saya sudah bisa jahit. Setelah bisa menjahit, saya menjadi kecanduan menjahit, bikin desain baju, dan sebagainya.”

Hobi menjahit, juga memasak, ini tidak sia-sia. Ketika ia makin eksis dengan Yayasan Abdi Asih, Mbak Vera pun dengan mudah membagikan dua macam keterampilan ini kepada para perempuan pekerja seks. Karena itu, jangan heran kalau Anda melihat markas Abdi Asih lebih mirip kursus menjahit ketibang kantor lembaga swadaya masyarakat (LSM).

“Dibilang kursus menjahit, ya, memang kursus menjahit. Tapi memang target saya memang khusus untuk ‘anak-anak’ itu. Kalau mereka punya ketrampilan, entah menjahit, memasak, kecantikan, insya Allah, mereka akan lebih muda mandiri,” ujar Mbak Vera dalam logat Makassar yang masih kental.

Ada satu lagi satu hobi Mbak Vera yang tidak berkembang. Apa itu? Berenang dan loncat indah. Ia mengaku sangat doyan renang ketika belum menikah. Jika ada waktu luang, Vera menyempatkan diri ke kolam renang untuk berolahraga sekaligus menekuni hobinya berbasah kuyup di dalam air.

“Sangat puas kalau saya sudah masuk kolam renang. Sepertinya tidak ingin cepat-cepat pulang,” tutur Mbak Vera lalu tertawa kecil.

Selain menguasai renang gaya apa saja, dulu, gadis Vera mengaku senang loncat indah. Naik ke papan, ambil ancang-ancang, lalu badan diputar-putar ibarat roda. “Loncat indah itu bukan hanya olahraga, tapi seni. Kalau sudah sampai di air kita sangat puas. Apalagi kalau awalan kita bagus, posisi jatuhnya badan juga sempurna,” kenangnya.

Hmmm... masih sempat renang dan loncat indah?

Mbak Vera, 47 tahun, tertawa lebar. “Wah, sudah lama saya meninggalkan kolam renang. Nggak sempat karena harus mengurus rumah tangga. Belum lagi menangani ‘anak-anak’ ini. Yah, saya ‘berenang’ di dapur saja dan menjahit. Kan kayak olahraga juga,” katanya.


BIODATA SINGKAT

Nama penuh : Lilik Sulistyowati
Sapaan akrab: Mbak Vera
Lahir : Makassar, 20 Mei 1959
Suami : M. Sarjono (almarhum)

Anak :
Mulani Sulistyaningsih
Mulana Sulistyaningsih
Rory Sardjono

This entry was posted on 00.22 . You can leave a response and follow any responses to this entry through the Langganan: Posting Komentar (Atom) .

3 komentar

Anonim  

Nice story;-)

Anonim  

Halo Mas Ivan saya tertarik dengan cerita ibu Vera di Gang Dolly. Apa saya bisa mewawancarai beliau? Kalau bisa tolong hubungi saya di email

Hai Mas Ivan, saya tertarik dengan cerita Ibu Vera (Lilik Sulistyowati). tertarik untuk mewawancarai lebih lanjut juga, semoga bisa dapat contact ibu Vera. bisa hub saya di indah.marrizya@gmail.com