Muhammadiyah Versi A.dahlan Mulai Terlupakan  

Diposting oleh Ivan Istyawan

Oleh: Maman A. Majid Binfas
Sejarah berdirinya suatu orga­nisasi tidak dapat di­pisah­­kan dari gaga­san dan piki­ran pendirinya. Sebab orang-orang yang kemu­dian bergabung menjadi anggota secara sadar telah menyepa­kati dasar dan tujuan organi­sasi tersebut yang pada hakikatnya merupakan perwu­ju­dan dari gagasan para pendirinya. PSII tidak mungkin dipisahkan dengan HOS Cokroaminoto. NU tidak mungkin dipisahkan dengan Hasyim Asya’ari. Demi­kian juga Muhammadiyah tidak mungkin dipisahkan dari Ahmad Dahlan. Dengan demi­kian gagasan dan pikiran yang muncul kemudian tidak mung­kin dipisahkan dari pikiran dan gagasan awal (para) pendiri­nya, (Moh. Djasman Al-Kindi; sala seorang pencetus berdiri­nya Ikatan Mahasiswa Muham­­ma­diyah dan menjadi ketua umum pertama DPP IMM).


Gagasan Ahmad Dahlan yang terpilih adalah bagai­mana dapatnya mengamalkan ayat-ayat al-Qur`an. Dengan demikian Muham­madiyah sebagai organisasi senantiasa diikhtiarkan untuk menjadi tempat untuk mengkaji Al-Qur`an sekaligus menjadi tempat bermusyawarah untuk mengamal­kannya. Oleh kare­na­nya Muhammadiyah tidak mungkin terpisah dari tiga prinsip yakni ; Pengkajian Al-Qur`an, Musyawarah dan amal, yang saat ini hampir “mati” ; antara “ada dan tiada” Dengan demikian warga Muhammadiyah masih perlu mempelajari gagasan dan pikiran KH. Ahmad Dahlan. Terutama yang berkaitan dengan Ibadah Sholat tepat waktu dan pengamalan ayat-ayat Al-Qur`an, hal itu tidak dimaksud untuk mengikuti jejaknya secara dokmatik tetapi untuk memberi makna kreatif guna penerapannya pada masa kini. Sebab gagasan dan pikiran KH. Ahmad Dahlan jelas merupakan gagasan dan pikiran kretif dan inovatif. Dalam tulisan yang berjudul Al-Islam dan Al-Qur`an yang sampai sekarang diketahui merupakan satu-satunya tulisan Ahmad Dahlan yang dipublikasikan. Dinyatakan (pada waktu itu) adanya kekalutan di kalangan umat: mereka pecah belah dan tidak pernah bersatu. Dari tulisan KH. Ahmad Dahlan dan pengung­kapan Haji Hajid tentang KH. Ahmad Dahlan dalam berorganisasi berpe­gang pada prinsip: a. Senantiasa menghu­bung­kan diri (memper­tanggung­jawabkan tindakannya) kepada Allah. b. Perlu adanya ikatan persa­u­daraan berdasar kebena­ran (sejati). c. perlunya setiap orang, ter­utama para pemimpin terus-menerus menambah ilmu, sehingga dapat meng­ambil keputusan yang bijaksana. d. Ilmu harus diamalkan. e. Perlunya dilakukan peru­bahan apabila memang diperlukan untuk menuju keadaan yang lebih baik. f. Mengorbankan harta sen­diri untuk kebenaran. Ikhlas dan bersih. Sangat ironis manakalah warga Muham­madiyah meng­abaikan sama sekali gagasan dan pikiran pendiri organisasi­nya ini. Seorang tokoh yang gagasannya telah menghasil­kan salah satu organisasi terbesar di Indo­nesia dan seka­rang banyak kalangan menik­mati­­nya walau­pun dalam berbagai gaya plus bermacam-macam ragam kepentingan (dalam tanda kutip!), baik dalam amal usaha maupun dalam persya­ri­katan Muhammadiyah. Gagasan pikiran cemerlang tersebut, jelas tidak layak untuk diabaikan. Gagasan dan piki­ran sema­cam itu jelas mengan­dung banyak hal yang perlu dipelajari terutama bagi warga Muham­madiyah mana­kala tidak ada maksud untuk menyim­pang dari gagasan dan tujuan berdiri­nya organisasi tersebut. Perlu diketahui, nama-nama seperti Ibnu Taimiyah, Jama­ludin al Afghani dan Muham­mad Abduh, di kala­ngan umat Islam dikenal sebagai ulama penggerak pemba­haruan. Gagasan dan pikiran Ahmad Dahlan dikenal juga sebagai gagasan yang dipengaruhi oleh ulama-ulama tersebut. Oleh karena itu Ahmad Dahlan oleh banyak pakar sering dinyatakan sebagai tokoh pembaharu dan Muham­madiyah dinyatakan sebagai gerakan pemba­haruan. Akan tetapi perlu dicatat bahwa gerakan pemba­haruan yang dilakukan ketiga tokoh tersebut di laksanakan di negara -negara di mana institusi keaga­maan dan fasilitasnya sudah tersedia dengan lengkap. Bahkan Muhammad Abduh sendiri adalah salah seorang ulama di Mesir yang mem­punyai kedudukan ter­hormat di Univer­sitas al Azhar dan Darul Ulum yang merupa­kan pergu­ruan Tinggi yang sangat berwibawa dalam keilmuan agama Islam, tidak saja di negerinya sendiri Mesir, tetapi juga seluruh dunia Islam. Dengan demikian gagasan pemabaharuan Muham­mad Abduh didukung oleh dua Universitas besar tersebut, sehingga cenderung merupa­kan gagasan intelektual. Sedangkan gagasan pemba­haruan yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan sama sekali tidak memperoleh dukungan dari lembaga pendidikan apapun. Sebab pada waktu itu belum ada sebuah sekolah pendidikan dasar sekalipun di kalangan umat Islam, sehingga dapat difahami kalau gerakan pembaharuan Ahmad Dahlan bersifat sangat pratikal, ialah mengembangkan gagasan dan pikiran sekaligus mengu­sahakan fasilitas pendukung untuk melaksa­nakan gagasan dan pikiranya itu. Haji Hajid menuliskan pe­nga­la­man­nya sebagai murid Ahmad Dahlan dalam risalah singkat berjudul falsafah Ajaran KH. Ahmad Dahlan, yakni tujuh poin yang dapat dipetik; Pertama; Kerapkali KH. Ahmad Dahlan mengung­kapkan perkataan ulama (al-Ghazali pen) yang menyatakan bahwa manusia itu semuanya mati (mati perasaannya) kecuali para ulama yaitu orang-orang yang berilmu. Dan ulama itu senantiasa dalam kebi­ngungan, kecuali mereka yang beramal. Dan yang beramal pun semuanya dalam kekha­wa­tiran kecuali mereka yang ikhlas dan bersih. Kedua; Kebanyakan mere­ka di antara manusia ber­watak angkuh dan takabur mereka mengambil keputusan sendiri-sendiri. KH. Ahmad Dahlan heran mengapa pemim­pin agama dan yang tidak ber­agama selalu hanya berang­gap, mengambil keputu­san sendiri tanpa mengada­kan perte­muan antara mereka, tidak mau bertukar pikiran memper­bincangkan mana yang benar dan mana yang salah?. Hanya anggapan-anggapan saja, disepakatkan dengan istrinya, disepakatkan dengan murid­nya, disepakat­kan dengan teman-temannya sendiri. Tentu saja akan dibenarkan. Tetapi marilah mengadakan permu­sya­waratan dengan golongan lain di luar golongan masing - masing untuk membicarakan manakah sesungguhnya yang benar?. Dan manakah sesung­guhnya yang salah? Ketiga; Manusia kalau mengerjakan pekerja­an apa­pun, sekali, dua kali, berulang-ulang, maka kemudian jadi biasa. Kalau sudah menjadi kesenangan yang dicintai. Kebiasaan yang dicintai itu sukar untuk dirubah. Sudah menjadi tabiat bahwa kebanya­kan manusia membela adat kebiasaan yang telah diterima, baik dari sudut atau i’tiqat, perasaan kehendak maupun amal perbuatan. Kalau ada yang akan merubah sanggup membela dengan mengor­ban­kan jiwa raga. Demikian itu karena anggapan­nya bahwa apa yang dimiliki adalah benar. Keempat; Manusia perlu digolongkan menjadi satu dalam kebenaran, harus bersama-sama meperguna­kan akal pikirannya untuk memikir bagai­mana sebenar­nya haki­kat dan tujuan manusia hidup di dunia. Manusia harus mem­per­­gunakan pikirannya untuk mengoreksi soal itikad dan kepercayaan­nya, tujuan hidup dan tingkah lakunya, mencari kebenaran yang sejati. Kelima; Setelah manusia mendengarkan pelajaran-pelajaran fatwa yang ber­macam-macam membaca bebe­rapa tumpuk buku dan sudah memper­bincangkan, memikir-mikir, menimbang, membanding-banding kesana kemari, barulah mereka dapat mem­­peroleh keputusan, mem­­per­­oleh barang benar yang sesungguh­nya. Dengan akal pikirannya sendiri dapat mengetahui dan menetapkan, inilah perbuatan yang benar. Sekarang kebiasaan manusia tidak berani memegang teguh pendirian dan perbuatan yang benar karena khawatir, kalau barang yang benar, akan terpisah dan apa-apa yang sudah menjadi kesenangan­nya, khawatir akan terpisah dengan teman-temannya. Pendek kata banyaknya kekha­watiran itu yang akhirnya tidak berani mengerjakan barang yang benar, kemudian hidup­nya seperti makhluk yang tak berakal, hidup asal hidup, tidak menepati kebenaran. Keenam; Kebanyakan para pemimpin belum berani mengor­­bankan harta benda dan jiwanya untuk berusaha tergolong­nya umat manusia dalam kebenaran. Malah pemimpin-pemimpin itu biasa­nya hanya meper­mainkan, memperalat manusia yang bodoh-bodoh dan lemah. Ketujuh: Ilmu terdiri atas pengetahuan teori dan amal (praktek), Dalam mempelajari kedua ilmu itu supaya dengan cara bertingkat. Kalau setingkat saja belum bisa mengerjakan tidak perlu ditambah. Pada poin ini, pengurus Muham­madiyah dan angkatan mudanya saat ini, baik pada tingkat pusat maupun pada tingkat wilayah dalam segi teori berlogika tidak diragukan lagi. Namun dalam hal praktik­nya masih perlu lagi diasah/dipertanyakan?, Ibadah Sholat tepat waktu dan kajian al-Qur`an sebagai piranti utama perjua­ngan KH. Ahmad Dahlan, mere­ka logikakan sebagai kebebasan pribadi, lalu shalat subuh rutin jam tuju pagi tidak menjadi soal, belum lagi tata cara shalatnya ber­aneka ragam, hingga keputu­san tarjih dibiarkan bercerita sendiri logika pribadi tanpa dasar itu menjadi ukuran. Bahkan Peng­kaderan sebagai nadi organi­sasi perge­rakan sudah diting­kat­kan pada “logika tinggi plus misi haus kekuasaan” hingga rana nurani, etik, Akhlak, sopan-santun menjadi misi persyarikan tak dihiraukan lagi, sebab libera­lisasi itulah men­jadi dasar hak asasi. Dan proyek politik, proyek suksesi menjadi kenda­raan bisnisnya tanpa mengenal waktu ter­penting proposal laku dan kolusi uang saku tersedia! Kader ataupun bukan?.. persetan! Astagfirullah. Dari tujuh butir pikiran brilian serta dari maka­lah KH.Ahmad Dahlan di atas, lalu kita meng­amati secara seksama aktifitas pengurus Muham­madiyah dan angkatan muda­nya saat ini. Apakah masih ber­cahaya sesuai dengan agenda dasar alam pikiran KH. Ahmad Dahlan?, ataukah justru pikiran serta gagasan KH. Ahmad Dahlan sudah jauh dari akar dasarnya - dilecehkan, atau­kah sudah mati dan padam disebabkan oleh serbuan dari berbagai kepen­tingan, yang menjadi­kan organi­sasi serta amal usaha Muham­madiyah sebagai ‘batu loncatan’ untuk mencapai kepentingan dan kepuasan pribadi atau kelom­­­pok. Bahkan mungkin seba­gian atau kebanyakan, menja­dikan Muhammadiyah bagai­kan lembaga “perseku­tuan berhistoris Hantu” semen­tara gagasan dan pikiran pendiri­nya hanya legenda dan atau sebagai dongeng belaka? Seperti terselubungnya kriteria, yang bisa menjadi presi­den Indonesia, kalau bukan orang jawa, jangan ber­mimpi jadi orang nomor satu di Indonesia. Mungkin begitu juga terjadi pada Muham­madiyah dan angkatan muda­nya beserta gerbongnya, bila dia, bukan orang kelahiran asli daerah atau wilayah tersebut, maka dia tidak bisa menjadi pucuk pada persyari­katan atau amal usaha Muham­madiyah. Lalu apakah demi­kian, tujuan awal niat tulus suci - hati bening KH. Ahmad Dahlan, tempo dulu? Atau didirikannya dengan doa syahdu yang hanya memohon magfirah ridho Ilahi semata. Muham­madiyah bukanlah hantu. Gagasan dan pikiran KH. Ahmad Dahlan bukanlah legen­da dan dongeng belaka! Akan tetapi nilai dan makna ketu­lusan hakiki yang nyata! Semoga terenungkan dalam sanubari..! Dan sesudah KH.Ahmad Dahlan apakah akan ada Muham­madiyah versi baru ? Cerdas tapi tak cerdas..! ber­muka-muka tapi tak bermuka, bermoral tapi tidak berakhlak.?

Surat Kepada Presiden RI  

Diposting oleh Ivan Istyawan

Wahai bapak SBY. Hari ini kita berduka, karena memimpikan kebangkitan negeri ini, tetapi tidak berani memimpikan kebangkitan pendidikan kita. Saya pesimis, mana mungkin pendidikan kita yang selama ini sangat eksklusif, penuh dengan hegemoni berbagai kepentingan dan riskan dengan berbagai permasalahan bangsa. Bahkan, pendidikan kita tidak memiliki kiblat yang jelas.

Mungkin sebagaian orang akan berapologi bahwa memang kita tidak berkiblat. Namun, sungguh saya yakin ketika pendidikan kita memiliki perwajahan yang jelas dengan kiblat yang jelas, entah itu pendidikan inklusif, pendidikan progresif atau pendidikan kritis, maka kita mungkin dapat melakukan evaluasi yang lebih jelas. Misalnya, permasalahan UAN, adalah bentuk ketidakjelasan kita, dan bentuk ketidaktuntasan kita dalam wilayah penentuan tolok ukur. Padahal sudah jelas bahwa kecerdasan siswa tidak bisa dimaterialkan dalam bentuk angka yang sangat hegemonif. Ujung dari problem UAN itu kita selalu mempunyai out put yang sangat mekanistik dan robotik, karena persiapan warga belajar sangat mekanistik dan robotik.

Atas nama Kaum Pemerhati Pendidikan Progresif Transformatif (KP3T), mari rubah iklim pendidikan kita, mimpikan dahulu kebangkitan pendidikan kita sebelum bermimpi tentang kebangkitan negeri ini.

Kekerasan Atas Nama Agama  

Diposting oleh Ivan Istyawan


Oleh : Ahmad Syafii Maarif
Tindakan kekerasan, brutalitas, bahkan peperangan atas nama agama bukan barang baru dalam sejarah peradaban (kebiadaban) manusia. Pelaku tindakan ini merasa paling beriman di muka bumi. Karena menganggap diri sebagai makhluk agung di antara manusia, mereka mengangkat dirinya sebagai orang yang paling dekat dengan Tuhan.
Karena itu, mereka berhak memonopoli kebenaran. Seakan-akan mereka telah menjadi wakil Tuhan yang sah untuk mengatur dunia ini berdasarkan tafsiran monolitik mereka terhadap teks suci. Perkara pihak lain akan mati, terancam, binasa, dan babak belur akibat perbuatan anarkis mereka, sama sekali tidak menjadi pertimbangan. Inilah jenis manusia yang punya hobi "membuat kebinasaan di muka bumi", tetapi merasa telah berbuat baik.


Seorang Presiden, George W. Bush, penganut Kristen puritan fundamentalis telah memakai agama untuk menghancurkan bangsa lain yang tak berdaya dengan seribu dalih. Perkembangan terakhir menunjukkan semakin banyak tentara Amerika yang bunuh diri karena diimpit suasana putus asa: perang di Afghanistan dan Irak tidak kunjung usai. Mereka memilih mati berkalang tanah daripada hidup becermin mayat. Itu belum lagi yang menjadi gila, rusak ingatan akibat perang yang dipaksakan. Bush dan para pendukungnya yang haus darah tidak hirau dengan semuanya ini.
Sementara itu, di kalangan segelintir Muslim, termasuk di Indonesia yang berkoar anti-Barat, atas nama agama telah membencanai tempat-tempat ibadah, perkantoran, bahkan rumah-rumah mereka yang berbeda agama atau mereka yang dianggap sesat dengan menggunakan fatwa MUI. Para pengrusak ini dari sudut pandang sistem nilai tidak banyak berbeda dengan Bush yang secara lahiriah ditentang oleh mereka. Di sinilah ironi itu berlaku. Dalam retorika politik, mereka seperti bermusuhan. Tetapi, dalam kelakuan, mereka bersahabat. Bedanya, Bush merusak dalam skala besar dengan persenjataan modern, sedangkan mereka dalam skala kecil, seperti dengan memakai pentungan, golok, linggis, dan lain-lain. Sementara itu, aparat seperti tidak mampu menghalangi mereka.
Dengan mengatakan demikian, anda jangan salah paham bila dikaitkan dengan paham Ahmadiyah yang jadi berita besar sekarang ini. Secara teologis, saya menolak 200 persen pendapat yang mengatakan bahwa ada nabi pasca-Muhammad, sekalipun katanya tidak membawa syariat. Jika memang begitu, mengapa harus dihadirkan nabi baru? Di sinilah saya gagal memahami kehadiran aliran Ahmadiyah. Mengapa tidak kembali saja kepada ajaran Islam semula. Adapun jika Ghulam Ahmad dipercayai sebagai pembaru, mungkin masalahnya tidak menjadi ruwet, sekalipun sebagian besar umat Islam tidak mengakuinya.
Sepanjang sejarah Islam selama sekian abad, umat yang percaya kepada kemunculan pembaru bukan barang baru, tetapi hanya sebagian tokoh yang memercayainya. Dengan pernyataan ini, posisi saya tentang Ahmadiyah sudah sangat gamblang. Memang dalam beberapa hadis dikatakan tentang akan turunnya nabi Isa sebelum kiamat. Dan katanya, Ghulam Ahmadlah orangnya.
Saya sungguh berharap agar hadis-hadis serupa ini diteliti kembali, sebab implikasinya sangat dahsyat. Maksud saya, jika Isa masih harus turun kembali, berarti misi Muhammad gagal. Saya tidak percaya bahwa nabi Isa masih hidup, karena dia adalah manusia biasa yang atas dirinya berlaku sepenuhnya hukum alam: lahir, dewasa, tua, dan mati. Tetapi, Alquran membantah bahwa kematian nabi Isa karena disalib. Masalah ini biarlah tidak diperdebatkan panjang-panjang, sebab saudara-saudara Kristen kita memercayai bahwa Isa mati di kayu salib. Kita tidak perlu memasuki teologi mereka.
Kembali kepada masalah kekerasan atas nama agama. Saya akan membela sepenuhnya posisi Ahmadiyah jika mereka dizalimi, hak milik mereka dirampok, dan keluarga mereka diusir. Ini perbuatan biadab karena pengikut Ahmadiyah itu punya hak yang sama dengan warga negara Indonesia yang lain menurut konstitusi Indonesia. Jika mereka dizalimi, aparat dan kita semua wajib melindungi mereka. Bahkan, seorang warga negara Indonesia penganut ateisme, tetapi patuh kepada UUD, tidak ada hak kita untuk membinasakan mereka. Kita bisa bergaul dengan mereka dalam masalah-masalah keduniaan. Mereka juga punya hak hidup dengan ateismenya.
Di sinilah pentingnya kita memahami secara jujur diktum Alquran dalam Albaqarah ayat 256, "Tidak ada paksaan dalam agama." Jika Tuhan tidak mau memaksa hambanya untuk memeluk atau tidak memeluk agama, mengapa kita manusia mau main paksa atas nama Tuhan? Sikap semacam inilah yang bikin kacau masyarakat. Oleh karena itu, Alquran jangan dibawa-bawa untuk menindas orang lain. Kekerasan atas nama agama adalah pengkhianatan yang nyata terhadap hakikat agama itu sendiri.
Sumber :

Islam Bukan Agama Bebas Nilai  

Diposting oleh Ivan Istyawan

Banyak cara yang ditempuh manusia dalam rangka mencari uang. Dalam beberapa kelompok manusia, ada yang menempuh jalan pintas dalam mencari harta semisal Korupsi, mencuri, menipu dan bebagai kegiatan kotor lainnya. Sebagian yang lain melakukan pekerjaan yang bersih walaupun sebenarnya kejujuran hampir pasti menjadi penyebab kematian secara bertahap pada penduduk Indonesia. Realitas hari ini membuktikan bahwa kaum Proletar masih tidak mendapatkan akses - ekonomi, pendidikan dll - yang sebanding dengan kaum borjuis. Fenomena ini jelas menimbulkan kesenjangan sosial yang luar "binasa" dan menimbulkan bencana kemanusiaan


Suatu ketika saya berada di Stasiun Kereta Api Kanjuruhan - Malang. tempat yang menawarkan beragam fenomena sosial itu cukup menarik untuk diamati. jatuhlah pilihan tuk bercakap dengan seorang penjual Mie Ayam. Miris sebenarnya makan Mie ayam Bapak Juki, sebab dibalik kelezatan - Mie - nya, Bapak Juki harus mendorong rombongnya dari rumah menuju stasiun Kreta Api sejauh 2 Kilometer dengan waktu perjalanan 1 jam.

Secara tidak sengaja terluncur pertanyaan yang bersumber dari dalam hati "maaf pak, mau tanya - memang berapa penghasilan bapak setiap hari?"Ups sepertinya saya salah ambil daftar pertanyaan ucapku dalam hati. " Ya ga pasti dek, paling banter (maksimal) 35 ribu rupiah " jawabnya dengan menerawang. Lanjut bapak berumur sekitar 55 ini bahwa sebenarnya itupun tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan belum lagi harus mengirim uangnya kekampung halaman. "sebagai manusia bapak hanya bisa berdo'a bahwa sang kuasa segera memanggil jiwa bapak yang telah gelisah atas perekonomian yang semakin tidak menentu dan berharap bumi merangkul jasad yang rentah ini dengan penuh cinta dan kasih" ucapnya sambil meneteskan air mata, air mata yang menyimbolkan ketidak berdayaannya dalam melawan tindasan kapitalisme.

Begitu gundah hati bapak ini sebab minyak tanah yang menjadi salah satu unsur pokok usahanya telah langka dan mahal. " terkadang bapak harus berhenti berjualan sebab minyak telah langkah, kalaupun mampu membeli harga sudah mahal dan dibatasi pembeliannya. Kadang bapak berjualan kadang bapak tidak jualan. Ya, itulah hidup begitu keras pada mereka yang lemah, sebab bukan lagi rahasia bahwa minyak habis bukan dikonsumsi rakyat kecil melainkan gdiminumh oleh para pengusaha yang berkuasa.

Pertanyaannya kemudian apakah Allah menciptakan rizki itu hanya tuk sebagain kaum saja? Dalam banyak keterangan Allah menyatakan bahwa semua mahluknya mulai dari yang melata, bersayap, dsb akan dicukupi kebutuhannya. Akan tetapi realitas sosial kita berkata lain, hanya yang kuat saja yang akan bertahan hidup.

apakah ini yang disebut kebenaran teori Darwin tentang seleksi alam, bahwa yang kuat akan menyingkirkan yang lemah. Secara langsung maupun secara tidak langsung yang kuat akan berevolusi menuju status dan strata sosial yang lebuh tingi. Sehingga pada titik yang paling Ekstrim hidup ini hanya akan dinikmati oleh kaum borjuis dan para penguasa yang saling tukar kepentingan.Oleh karena itu menurutnya "Jumlah individu keturunan yang superior akan bertambah sementara jumlah individu inferior akan berkurang dari satu generasi ke generasi lainnya. Seleksi alampun juga masih bekerja, sekalipun jika semua keturunan dapat bertahan hidup dalam beberapa generasi".

Islam sebagai agama penutup zaman, sungguh telah datang dengan spirit pembebasan. Islam datang tidak dalam keadaan hampa nilai. Bigitu dalam nilai Egaliter dan Humanisai yang terkandung dalam Islam. Hal secara jelas termanifestasikan dalam spirit para nabi dalam membela umatnya, lihat betapa gagah dan heroik Muhammad SAW dalam membela para Mustad'affin, Tengok juga Musa AS yang tak gentar dalam menantang kebengisan Fir'aun dan betapa dermawannya para sahabat dalam membelanjakan hartanya dalam jalan Allah.

Namun kini Islam seakan hanya simbol yang dapat dimanfaatkan dalam memberikan legitimasi pada beragam kepentingan. Islam terkadang muncul sebagai simbol legitimasi kepentingan kapitalisme, Kepentingan Politik, Kepentingan tidak anarkis. Tengoklah bagaimana simbol Islam dimunculkan dalam bulan Ramadhan - banyak artis yang sebelum Ramadhan tiba, meliarkan auratnya untuk umum, eh datang ramadhan rame-rame menutup aurat sambil mempromosikan berbagai aksesoris atau kostum untuk ibadah.

Begitu juga dengan iklan produk makanan dan minuman hampir semua iklannya dikaitkan dengan kualitas ritual puasa. Iklan-iklan ini seakan merepresentasikan pesan agama. Umatpun ramai-ramai terprovokasi dan membeli beragam produk berlabel Islam. Tidak kalah menyedihkan, Simbol islam juga dijadikan alat dalam perang politik terutama jika telah mendekati momen pesta politisi. Sebagian pemuka agama - ulama, kyai, Gus, atau apaun gelar bagi mereka - ikut turun dalam medan laga memeriahkan pesta yang jauh darikepentingan umat namun mengatas namakan Umat (baca : rakyat). Meraka (semagian Pemuka agama,pen) kemudian berlomba - lomba untuk memeberi legitimasi dalam konteks moral dan agama pada salah satu tokoh politik yang diusung, sebagian yang lain dengan ayat yang terkesan kontra menjatuhkan calon dari kubu lawan politiknya. Hasilnya adalah umat Islam sebagai konstituen terbesar terprovokasi dan bertikai antar saudra Se-iman
Tidak jarang, demi menaikan simpati konstituen para kandidat g penipu rakyat h ini mencomot ayat Al qu'an dalam orasi dan kampanye. Berbagai masalah umat islam yang notabene penduduk terbesar disentuh dan akan diperjuangkan, janji akan mewujudkan suasana kehidupan yang lebih religius ditawarkan, agenda pembelaan pada kaum Mustad'affin di gelorakan. Berbagai program seakan - membawa ruh islam sebagai Spirit perubahan yang akan ditawarkan - dikampenyekan pada umat yang sebenarnya bosan dengan janji. Namun karena lebel Islam dibawa, sekali lagi umat Isam jatuh pada lubang yang sama. Umat seakan dibius kesadarannya. Percaya pada janji yang tidak memiliki garansi dan komitmen sosial yang kuat. Hal ini pada akhirnya menjebak masyarakat kita pada apa yang disebut marx sebagai kesadaran palsu (false consciousness) " pada tingkatan psikologis-rasiolnal, masyarakat akan susah membedakan kesadaran atas benar (murni) dan salah (palsu) karena selalu ditipu" ungkapnya.

Dalam konteks Purifikasi dan modernisasi (Baca : Tajdid) gerakan, saatnya gerakan Islam kontemporer berubah, saatnya hukum Islam ditegakkan sebagaimana fungsinya. saatnya untuk mengembalikan spirit perjuangan Islam yang penuh dengan semangat pembelaan dalam konteks sosial yang selalu berkembang dengan sangat pesat.
“ In order to place law functionally to face every social change, we meed methodological breakthrough and ability to discern recent phenomena. Therefs many supporting science to help application of law formulation, e.g. exegesis (tafsir), history (tarikh), and Arabic grammar. With this convergence between ushul fiqh and other sciences would lessen Islamic law formalism. On this context, Islamic law not only from value perspective alone, but also we find organic and structural relation with social life. Here the importance of Islamic lawfs thought transformation phenomena, not only as religious phenomena. Islamic law thought transformation in Indonesia is a creative struggle between Islam and Indonesian society, between Islamic value and social structural reality g.

Telah tiba waktunya agar umat didampingi. Dalm konteks ini sebenarnya Umat islam memiliki potensi untuk merubah sejarahnya. Umat islam Indonesia perlu disadarkan, didampingi dan diberdayakan menuju proses perubahansosial yang memiliki dampak baik secara langsung maupun tidak pada kehidupannya. Telah tiba saatnya bagi gerakan Islam kontempoter untuk menumbuhkan kesadaran sosial akan nasib tragis kaum mustad' affin yang tertidas. " Telah banyak tangan yang menghantam umat, namun sedikit tangan yang mau sukarela menolong umat yang sedang terdzolimi ini" (Eko Prasetyo)

Sadaralah kawan kehadiran Islam bukan sebagai agama yang bebas nilai, bukan pula sebuah entitas agama yang toleran pada kepentingan yang dzholim dalam wajah apapun kepentingan itu. Justru Islam penuh dengan nilai dan spirit Pembelaan dan pembebasan pada kaum Mustad'affin.
Mari berjuang untuk Gerakan Penyadaran, pemberdayaan dan pendampingan ummat menuju Islam Progresif. Semoga

WALHI Desak Presiden Cabut PP No 2/2008  

Diposting oleh Ivan Istyawan

INDONESIA MENANTI BENCANA EKOLOGI
Jakarta- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) terus melanjutkan aksi kampanye agar pemerintah mencabut PP No. 2 Tahun 2008 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di luar kegiatan kehutanan.
Seperti diketahui, pada 4 Februari 2008, pemerintah mengeluarkan PP tersebut guna memberikan keleluasaan izin bagi 14 perusahaan tambang untuk melakukan pembukaan hutan lindung dan hutan produksi untuk kegiatan tambangnya, infrastruktur, dan jalan tol dengan tarif sewa seharga Rp 120 untuk hutan produksi dan Rp 300 per meter persegi per tahun. Harga itu amat sangat murah dibanding dengan harga sebuah pisang goreng yang biasa dijual mengitari kampung.

Dalam skema PP tersebut, bisa diperkirakan sekitar 11,4 juta hektar hutan lindung Indonesia bakal hancur lebur. Bisa dipastikan, ke depan Indonesia akan mengalami bencana ekologis yang lebih dahsyat dan makin menyengsarakan masyarakat akibat diberlakukannya PP itu. Merujuk pada catatan WALHI, sejumlah bencana yang terjadi di awal 2008 memiliki kaitan langsung dengan pola eksploitasi sumber daya alam yang meniadakan aspek pelestarian ekologis dan penghormatan atas hak publik.
“Di saat Indonesia dirundung ratusan bencana akibat salah urus negara yang telah berlangsung lama, Presiden malah mengeluarkan peraturan yang akan menjadi katalisator bencana di masa mendatang. Patut ditegaskan, pemerintahan era ini akan dicatat oleh generasi berikutnya sebagai fasilitator utama yang mempercepat terjadinya perubahan iklim,” seru Chalid Muhammad, Direktur Eksekutif Nasional WALHI.
Chalid juga menambahkan, seharusnya pemerintah mengeluarkan peraturan pengganti undang-undang guna mengatur jeda tebang (moratorium logging) dan stop konversi hutan, strategi pemenuhan dalam negeri atas industri kehutanan, restorasi (pemulihan) ekosistem secara terpadu dan melibatkan masyarakat, serta sanksi tegas bagi perusahaan yang konsesinya terjadi kebakaran hutan. Bukan malah mengeluarkan kebijakan yang akan menjadi pemicu percepatan kehancuran hutan.
“Ke depan, bencana ekologis akan makin sering terjadi dengan diberlakukannya PP ini. Seharusnya Presiden Indonesia mengeluarkan peraturan pengganti undang-undang (PERPU) tentang Penyelamatan dan Pemulihan Ekosisitem Hutan karena tingkat kegentingan yang sudah sedemikian tinggi. Bencana ekologis adalah salah satu indikator utama kegentingan tersebut,” jelas Chalid.
Sementara itu, pengkampanye hutan WALHI, Rully Syumanda menyebutkan bahwa WALHI telah menggalang dukungan luas masyarakat berupa aksi menyewa hutan lindung untuk diselamatkan. Sejak akhir Februari 2008, WALHI berhasil menggalang donasi publik untuk ‘penyewaan’ hutan lindung bagi publik dengan tujuan melindungi hutan. Jumlah yang terkumpul mencapai Rp34,66 miliar atau setara tarif 11.535,8 hektar lahan kawasan hutan lindung.
Sebelum aksi di Depkeu Senin tadi, masyarakat telah memberikan komitmennya untuk penyelamatan hutan lebih dari 169 hektar dari 124 orang dengan total komitmen kawasan hutan yang akan diselamatkan dalam bentuk penyewaan menjadi 1.868.799 meter persegi. Donasi publik itu kini disimpan masing-masing donatur karena belum ada mekanisme untuk tarif yang terkumpul dari publik.
Donasi ini merupakan opsi kedua yang ditawarkan oleh WALHI beserta sejumlah LSM lainnya menyangkut PP No 2/2008. Opsi pertama adalah pemerintah harus mencabut PP No 2/2008 yang telah membuka peluang bagi penghancuran hutan. Sebaliknya, pada opsi kedua, pemerintah memelopori pembentukan mekanisme keterlibatan publik untuk menyelamatkan hutan dengan jalan ‘menyewa’ apabila pemerintah tak mau mencabut PP tersebut.
Menyangkut donasi, WALHI hanya membatasi kontribusi perlindungan hutan selama 2 tahun. Olehnya, WALHI akan terus menggalang dukungan penolakan dan pencabutan PP No 2/2008 hingga ada pembatalan dari presiden. Terlebih, WALHI juga yakin bahwa presiden baru yang terpilih pada pemilu 2009 akan mencabut PP No 2/2008 ini.
Umumnya, donasi publik yang diterima WALHI berasal dari kelompok perempuan, jemaat gereja, individu, dan kelompok karyawan. Sekadar informasi, WALHI mencatat 229 individu dalam dan luar negeri, serta 376 organisasi di Indonesia telah mendaftar untuk mendukung pencabutan PP No. 2/2008. Jumlah ini belum termasuk dari individu dan kelompok masyarakat yang berkomitmen ‘menyewa’ hutan, yang jumlahnya mencapai ribuan orang. “Yang menyatakan komitmen penyelamatan hutan lindung Indonesia terus bertambah,” kata Chalid.
Dukung Donasi Selamatkan 11,4 Juta Hektar Hutan Indonesia
Rp. 300/m2 Hutan Lindung
Dalam berbagai pertemuan dan pernyataan resmi, pemerintah selalu beralasan ketiadaan biaya untuk melakukan penjagaan hutan sehingga pendanaan yang akan diperoleh dari penghancuran 11,4 juta hektar hutan lindung melalui skema PP 2/2008 akan digunakan untuk menyelamatkan hutan tersisa.
WALHI menghimbau seluruh lapisan masyarakat untuk mendonasikan uangnya untuk menyelamatkan hutan lindung. Untuk setiap Rp 300 yang didonasikan, Anda telah berkontribusi untuk melakukan penyelamatan hutan seluas 1 meter persegi. Donasi akan diserahkan kepada Menteri Keuangan. Masyarakat disarankan cukup ‘menyewa’ dua tahun saja karena pada tahun 2009 Presiden yang baru akan mencabut peraturan ini.
Hanya dengan minimal Rp. 300/m2/ tahun Anda telah berkontribusi menyelamatkan 900 ribu hektar hutan Indonesia dan turut berpartisipasi dalam upaya mengurangi laju perubahan iklim.
Kirimkan nilai donasi (Rp atau m2), Nama, Profesi dan kota domisili Anda ke +6281210581481 atau roelly@walhi.or.id. Kami akan melakukan konfirmasi selanjutnya kepada Anda.
Donasi Anda menentukan keberlangsungan hutan alam Indonesia.
Informasi lebih lanjut tentang PP No 2/2008 dan berbagai peraturan atau ulasan terkait bisa dilihat di www.walhi.or.id, www.jatam.org atau www.rullysyumanda.org
Berapa minimal yang harus saya donasikan:
Minimal Rp. 300 dan anda berhak untuk menyewa selama 1 tahun untuk 1 meter persegi.
Apakah saya boleh menyumbang lebih dari Rp. 300?
Anda dipersilahkan mendonasikan sesuai dengan kemampuan Anda. Nilai donasi tersebut akan dikonversi menjadi luasan hutan lindung sesuai dengan nominal donasi Anda.
Apa Keuntungan Anda?
Hal yang utama, Anda telah berkontribusi dalam upaya menyelamatkan 11,4 juta hektar hutan lindung. Anda juga akan memperoleh kupon yang diterbitkan oleh WALHI senilai donasi Anda, yang menyatakan bahwa Anda adalah pemilik hutan lindung di daerah tertentu dengan luasan sesuai dengan donasi Anda dan Anda berkeinginan agar hutan lindung itu tidak dihilangkan atau ditambang.
Bagaimana Cara Berpartisipasi? Anda dapat berpartisipasi dalam dua cara:
1. Anda bisa mengumpulkan donasi Anda dan meminta rekan lainnya untuk melakukan hal serupa. Kumpulkan donasi Anda dan lengkapi dengan nama masing-masing donatur, profesi, dan kota domisili, lebih baik juga mencantumkan nomor yang dapat dihubungi sehingga kami dapat berkomunikasi dengan Anda. Kirimkan donasi Anda ke rekening WALHI atau diantar langsung ke kantor WALHI, Jl Tegal Parang Utara No 14 Jakarta 12970. Kami akan memberikan tanda terima dalam bentuk kupon yang menyatakan bahwa Anda adalah pemilik hutan lindung dan meminta kepada pemerintah untuk tidak merusak hutan lindung tersebut. Jangan lupa memberikan nama, profesi dan domisili untuk registrasi sebagai pihak yang turut serta menyelamatkan hutan alam Indonesia.
2. Anda bisa mendaftarkan nama, profesi, alamat, nomor yang dapat kami hubungi dan komitmen luasan yang akan disewa. Kirimkan ke (pilih salah satu saja) Hotline-081210581481 atau roelly@walhi.or.id. Kami akan menghubungi Anda.


Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Rully Syumanda
Pengkampanye Isu Hutan
Email Rully Syumanda
Telepon kantor: +62-(0)21-791 93 363
Mobile:
Fax: +62-(0)21-794 1673

Bayer receives award for the credibility of its sustainability reporting  

Diposting oleh Ivan Istyawan

Awards ceremony in Berlin: Richard Howitt (right), Member of the European Parliament, presents the trophy to Bayer representatives Ursula Mathar, Head of Sustainability & External Reporting, and Franz Rempe, Head of Corporate Publications.
Leverkusen, March 5, 2008 – Bayer has received another award for its Sustainable Development Report 2006: In an international online voting of more than 20,000 people, the report by Bayer AG was rated the publication with the highest “openness and honesty“ among 156 sustainability reports by global companies. This was announced by online service-provider “CorporateRegister.com”, the organizer of the voting, which is the first global, independent survey of its kind. This internet platform manages the world’s largest directory of sustainability reports, which currently contains in excess of 16,000 reports by more than 4,000 companies from 105 countries. The award, which was presented at an international sustainability congress in Berlin, is the second within a short space of time for the Bayer Sustainable Development Report 2006.

Only a few weeks ago, the renowned research institute Roberts Environmental Center in Claremont, California, awarded the report a prize for being the best sustainability report in its sector.
“We congratulate Bayer AG on this award. As the results of the voting prove, this is an expression of the confidence that many stakeholders have in the sustainability reporting of the company," says Paul Scott, Director of CorporateRegister.com.
“We are very happy with the results of this study. It confirms that our open and comprehensive approach to informing stockholders, employees and the public about our sustainability activities in an attractive way is on the right track,” says Heiner Springer, Head of Corporate Communications at Bayer AG. The yearly report, which is available as a printed and online version, illustrates how the Bayer Group harmonizes economy, ecology and social responsibility.
Bayer places great value on ensuring that its sustainability reporting is comprehensible, as well as being open and transparent. “We set ourselves new qualitative and quantitative sustainability targets every year as a benchmark for our activities,” explains Dr. Wolfgang Grosse Entrup, Head of Environment & Sustainability at Bayer AG. “Our reporting on our activities in the field of sustainable development also meets the internationally recognized guidelines of the Global Reporting Initiative which have been drawn up with the involvement of the United Nations.” Our sustainability management system is also certified every year by an auditor.
You can find further information about the CorporateRegister.com ranking on the Internet at: www.corporateregister.com/crra
You can also find Bayer's 2006 Sustainable Development Report and additional information on this topic on the Internet at: www.sustainability2006.bayer.com
Forward-Looking Statements
This news release may contain forward-looking statements based on current assumptions and forecasts made by Bayer Group or subgroup management. Various known and unknown risks, uncertainties and other factors could lead to material differences between the actual future results, financial situation, development or performance of the company and the estimates given here. These factors include those discussed in Bayer’s public reports, which are available on the Bayer website at www.bayer.com. The company assumes no liability whatsoever to update these forward-looking statements or to conform them to future events or developments.
Taken From :
http://www.sustainability2006.bayer.com

Beruntung Saya Tidak Sekolah di Muhammadiyah  

Diposting oleh Ivan Istyawan

(Catatan Imaginatif tentang Pendidikan)
Oleh: Eko Prasetyo


Pendidikan itu bukan hanya mengisi sebuah keranjang, Melainkan menyalakan sebuah api

(William Butler, Peraih nobel Sastra)

Aku bertemu dengan seorang teman lama. Pria yang kini berposisi mapan sebagai pengusaha. Ia dulu teman satu lingkungan sekolahan. Kebetulan sekolah kami berdekatan. Saya tinggal di sekolah swasta nasional sedang ia menempuh pendidikan di Muhammadiyah. Kebetulan tiap olah raga kami memakai lapangan yang sama. Itulah awal perkenalan dan persahabatan kami. Hanya kemudian setelah lulus saya mulai jarang bertemu denganya. Saya hanya dengar kabar ia kini jadi pengusaha besar. Punya bisnis meubel yang lumayan hingga mampu mengekspor produk. Namanya bahkan tercatat sebagai pengurus partai. Jadi pengusaha kayaknya syarat untuk menjadi apapun di negeri ini. Kedudukan yang kini mengalahkan posisi serdadu.

‘wakh-wakh tak kusangka kita bertemu disini’ begitu tegurnya setelah kami duduk di sebuah tempat makan yang siang itu ramai pengunjung.

‘ya aku juga tak menyangka ketemu kamu disini’

‘bagaimana kabar keluarga? Tanyanya ramah

‘alkhamdulillah. Semua sehat dan kami kini tambah diberi tambahan momongan. Yang nomor dua masih play group dan yang besar baru menginjak kelas 1 SD. Sedang yang ketiga masih usia dua bulan’

‘sama kalau begitu. Yang kecil aku juga masih TK dan yang besar sudah kelas dua’

Kami bicara seperti layaknya masih muda dulu. Kebetulan istrinya adalah seorang yang sangat kukenal. Pengurus organisasi Muhammadiyah yang aktif dan rajin. Dulu kami satu angkatan pelatihan. Namanya masih pelajar belum remaja Muhammadyah. Atau IPM belum IRM.

Ingatan atas istrinya menjadi perbincangan yang saling menyambung. Kini istrinya lebih memilih menjadi ibu rumah tangga yang sibuk memberesi problem rumah. Aku merasa kagum dan salut. Sebuah posisi yang dimuliakan di Venezuela dan negeri-negeri Amerika Latin!

‘memang harus begitu. Dimana-mana banyak penelitian membuktikan seorang anak berhasil biasanya muncul dari model keluarga tradisional. Ibu di rumah dan suami yang bekerja. Kurasa keputusan istrimu itu sangat tepat. Salam untuknya dan aku sangat kagum dengan kesediannya untuk bekerja di rumah

Ia tersenyum dan tampak sangat bangga dengan komentarku. Mungkin ini karena aku juga memutuskan untuk membangun pola seperti itu. Istriku memutuskan untuk tinggal di rumah. Anak-anak kami diasuh olehnya. Memang agak repot tapi ini membuatku tidak kuatir kalau meninggalkan rumah. Anakku berada di tangan ibunya sendiri.

‘jadi apa yang kaulakukan sekarang? Tanyanya sedikit terburu

‘aku sekarang sedang mendirikan sekolah gratis buat anak-anak miskin’ jawabku dengan agak antusias.

Tiap aku bilang tentang sekolah gratis aku selalu saja gembira. Entah mengapa itu seperti aku ditanya tentang bagaimana wajah puteraku. Idam-idaman tentang sekolah gratis jadi harapanku hari-hari ini. Sebuah sekolah yang tidak mengikat siswanya dengan nilai-nilai material. Sebuah pendidikan yang berkaca pada prinsip kerelaan, solidaritas dan keberpihakan. Hingga kini tiap orang bicara tentang pendidikan maka gagasan sekolah gratis itu menarikku untuk berdebat. Kudirikan sekolah gratis untuk menangkal badai materialisme yang kini menghantam banyak sekolah. Sebuah badai mengerikan yang menjepit kemampuan sosial orang-orang miskin. Yang jumlahnya kian hari kian membumbung.

‘wakh luar biasa, kenapa kaudirikan sekolah gratis ini? Tanyanya agak serius

‘begini kawan, aku sendiri kasian melihat banyak orang tua sekitar yang mengeluh tentang biaya pendidikan yang mahal. Beberapa anak memutuskan untuk berhenti sekolah karena biaya. Padahal kau dan aku bisa seperti sekarang karena sekolah. Sekolah itu tangga kita untuk naik kelas sosial yang lebih tinggi. Jika tanpa sekolah pasti kita semua ini akan tetap seperti dulu. Engkau dan aku hanya berdiam di dusun yang sekarang hampir berisi orang-orang tua. Aku akan meneruskan usaha kedai ayahku dan kau hanya menjadi pegawai meneruskan ayahmu juga. Sekolah kawan yang merubah kau dan aku’

Kusiram ceramahku yang biasa kuberikan di berbagai forum. Ingin kuingatkan kata banyak ahli pendidikan tentang daya dobrak sebuah pendidikan. Tanpa pendidikan mungkin Soekarno, Hatta, Sjahrir atau Tan Malaka hanya menjadi penduduk kolonial. Yang tidak akan berfikir tentang sebuah nation dan gagasan soal kedaulatan. Pendidikan mengenalkan mereka tentang identitas bahkan ideologi sebuah bangsa. Tanpa sekolah semua itu mungkin hanya barang asing yang tidak akan mereka kenali. Kini aku ingin sebagaimana pemerintahan kolonial dulu yang mengenalkan pendidikan kemanusiaan sejak dini. Bukan hanya gratis tapi juga memberi mereka atlas tentang harga diri sebuah bangsa dan arti sebuah kedaulatan. Tapi aku sengaja memendam harapan ini di hadapan kawanku yang lama sekali tak kutemui. Aku bahkan ingin sekali mendengar tanggapanya

‘aku setuju dengan pertimbanganmu. Kau tahu sendiri aku sangat pragmatis. Bahkan dalam segala hal. Anakku kini kusekolahkan di sekolah terbaik dengan biaya yang sangat mahal. SPP nya sebulan mencapai 350 ribu rupiah. Tapi kalau kusekolahkan ke sekolah murah pastilah kau bisa perkirakan bagaimana kualitasnya. Kalau aku secara pribadi berpandangan semua pendidikan butuh biaya. Dan itu harus ditebus dengan biaya mahal. Tapi tak semua orang punya pandangan sama denganku bukan?

Ia lontarkan pertanyaan itu ke arahku. Seperti sebuah lemparan sarung tinju yang harus kukenakan. Aku mengenalnya sangat lama. Kawanku ini dulu anak seorang guru yang sederhana. Sekolah Muhammadiyah kebetulan dekat dengan rumah kami. Sebuah lembaga pendidikan yang berisi banyak orang-orang tak mampu. Sekolah itu berdiri untuk melayani beberapa teman yang tak bisa ditampung di sekolah negeri. Sebuah lembaga pendidikan yang telah menanamkan begitu banyak jasa. Itu yang membuatku termotivasi untuk ikut di salah satu gerakan pelajarnya. Jujur aku terpesona dengan kegigihan orang-orang Muhammadiyah yang telah memangkas semua hambatan di lingkungan kami untuk bersekolah. Aku sesungguhnya rindu dengan tindakan luar biasa ini. Sebuah tindakan yang kini sudah jarang aku temukan pada pewaris-pewarisnya

‘engkau ingat sekolahmu dulu? Aku lebaran kemaren sempat pulang dan banyak yang mengeluh betapa berubahnya sekolah itu. Kini ongkos masuknya melebihi sekolah negeri. Katanya ada kelas khusus unggulan yang patokanya adalah biaya dan kepandaian. Tapi yang terpenting adalah, biaya! Malahan sekarang disiplin keagamaanya mirip dengan sekolah-sekolah Islam Terpadu. Kau tahu sendiri kita ini tumbuh sama-sama di masyarakat religius. Tapi dulu kita tidak mengalami pemaksaan yang mengerikan dan bahkan bangunanya sekarang rapat dengan tembok-tembok tertutup. Kau pasti tahu lapangan tempat kita main sepak bola sekarang sudah disulap menjadi laboratrium komputer. Semua yang dulu membuat kita bisa berdekatan dan bergaul kini lenyap. Aku merasa kehilangan, entah kalau kamu’

Ya tiba-tiba aku terbang dalam ingatan masa lampau. Saat sekolahku dan sekolahnya tak ada pembatas. Kami bergaul rapat dan saling membantu dalam segala hal. Bahkan lapangan sepak bola itu menjadi milik bersama. Identitas sekolahku dan sekolahnya berbeda. Aku tinggal di sekolah swasta yang agak nasionalis dan ia belajar di Muhammadiyah. Tapi kami jarang sekali konflik. Biarpun berbeda kami tak pernah merasa kesal dan kecewa satu sama lain. Belajar butuh kebebasan intelektual dan pemahaman akan kemajemukan. Mungkin itu yang kini mulai dibangun dan coba ditegakkan dalam iklim sekolah inklusi Sebuah sekolah yang merayakan perbedaan dan memberikan ruang pada murid untuk memahami keaneka ragaman. Tampaknya identitas kini jadi perkara mendesak yang menggelisahkan banyak orang. Termasuk diri kawanku ini.

‘benar sekolah kita telah berubah. Tapi bukankah hidup ini memang harus berubah. Anakmu dan anakku pasti berbeda dengan semasa kecil kita dulu. Kalau kita dulu habiskan waktu main bola di halaman samping sekolah hingga petang lalu belajar mengaji di musholla bersama. Tapi sekarang tiap sore anakku harus kuantar untuk les renang, kadang piano dan bahasa asing. Aku ingin anakku berhasil melebihi diriku. Apalagi masa depan sulit untuk dibaca. Yang kutahu masa depan mensyaratkan kemampuan yang unggul dan aku tak ingin anakku kalah dalam kompetisi yang pasti akan terjadi nanti. Mungkin karena itu aku tak begitu peduli dengan apa yang kaukatakan hilang tadi’

Kulihat raut wajahnya yang gusar dan sepertinya tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakanya sendiri. Balutan jas tuxedo itu seperti tempurung yang menutupi badanya. Tanganya diletakkan diatas meja sambil jarinya mengaduk-aduk jice apokat yang sejak tadi hanya dicicipi sedikit. Aku melihat ia tampak galau dan sedikit cemas. Ia sudah berubah, itu pendapatku.

Mungkin waktu atau pertemuan dengan dunia baru yang merubah kita. Sejak dulu pertanyaan itu menggelisahkanku. Apa yang sesungguhnya berperan besar dalam mengubah pandangan hidup seseorang? Aku kenal kawanku dulu sebaik aku kenal diriku; kami mengaji bersama, main bola bareng dan bahkan punya mimpi serupa. Kuingat cita-citanya adalah jadi sopir bus yang bisa membawanya kemana-mana. Sama denganku. Buatku seorang sopir adalah manusia petualang. Ia tahu kota yang terjauh dan belum pernah kami jamah. Kini pandanganku dan pandanganya sangat berbeda. Lebih mudah dikatakan saling bertabrakan. Ia berdiri persis dihadapan posisi yang kerapkali aku jadikan sasaran kritik. Seorang yang percaya kalau keunggulan intelektual adalah segalanya. Pendidikan sebaiknya berada pada posisi itu. Maka pandangan ini selalu percaya kalau seorang siswa adalah manusia tanpa potensi. Hanya melalui penanaman, pengajaran dan kedisplinan yang spartan baru mereka mampu meraih keunggulan. Sejumlah sekolah Muhammadiyah mengawali semangat pendidikan dengan karakter seperti itu saat ini. Seorang wali siswa yang anaknya sekolah disana bertutur kepadaku suatu saat:

‘anak saya terlambat masuk dan mendapat hukuman fisik. Saya sebenarnya ingin protes dan sempat mau bertanya kenapa masih melakukan tindakan seperti itu? Saya juga kadang ingin bertanya mengapa anak-anak harus pulang hingga larut untuk mendapat pelajaran tambahan yang banyak sekali jumlahnya? Saya kuatir kalau anak-anak kehilangan waktu dan kesempatan bermain karena sekolah padat dengan pelajaran. Saya bertanya untuk apa uang pendidikan mahal dan selalu saja ada yang dinamakan dengan uang gedung. Kadang saya bertanya ini sekolah untuk anak atau untuk para pengurus?

Mungkin komentar ini agak keterlaluan. Tapi soal biaya dan waktu pembelajaran memang jadi keluhan umum. Tak semua orang tua ternyata senang kalau anaknya sibuk di sekolah. Aku termasuk orang yang tak ingin anak lama di sekolah. Anak buatku tetap berada di bawah asuhan orang tua. Tanggung jawab dan kehangatan hubungan tak bisa digantikan oleh siapapun, termasuk oleh sekolah. Temanku punya pandangan yang mirip dengan tokoh dalam film I’m Not Stupid. Sebuah film yang cocok untuk mereka yang percaya akan pendidikan serius. Anak-anak Singapura yang begitu bebal terhadap sesama dan melihat kawan hanya merupakan pesaing kemampuan. Hidup mereka seperti dalam keadaan terus-menerus berlomba. Mereka saling berlomba. Dan kegagalan adalah sebuah celaan. Kesuksesan walau harus dibayar dengan ongkos sosial tinggi tetap dirasakan perlu. Alangkah mengerikanya pandangan temanku dan mungkin pandangan umum orang tua.

‘benar kawan mungkin kita punya pandangan berbeda dalam mendidik. Kau pasti ingat pak kyai Khasanuddin almarhum yang banyak sekali melatih kita tentang kehidupan. Kita tak pernah diingatkan dan dimarahi kalau lupa mengaji. Beliau tak pernah menghukum. Beliau hanya tak ingin kita hanya duduk berdiam diri. Engkau dan aku selalu disuruhnya melakukan apa saja yang bermanfaat. Katanya, menganggur itu dosa. Dan ketika kita diam membaca selalu saja pak kyai merasa enggan untuk mengganggu bahkan kita kadang diminta untuk menceritakan apa yang sudah kita baca. Satu hal yang diingatkan oleh beliau dan merupakan pesan nabi, jadilah orang yang bermanfaat’

Kulihat muka temanku seperti tergores ingatanya. Aku tahu dialah salah satu santri kesayangan pak kyai. Kawanku suka membaca dan pandai menjelaskan semua hal. Kufikir dulu dia akan menjadi seorang ilmuwan atau setidaknya dosen. Pesan menjadi orang bermanfaat itu kami praktekkan dalam sehari-hari. Pak kyai selalu meminta kami memberitahu tentang apa yang sudah kami lakukan buat membantu orang lain. Bahkan membantu menjemur pakaian tetangga sekalipun dipandang sebagai sesuatu yang bermanfaat. Kini pendidikan bermanfaat itu kemudian dipraktekkan dengan alat ukur yang memalukan. Pendidikan harus bermanfaat bagi diri sendiri dan bermanfaat untuk pasar kerja. Jarang sekali pendidikan meyentuh sisi-sisi sosial yang bisa menempatkan seorang siswa dalam hubungan yang penuh makna. Kebermaknaan mungkin itu yang ditanggalkan oleh dunia pendidikan sekarang ini. Sesungguhnya pendidikan agama bisa meyentuh batas itu tapi jatuh gagal karena banyak bungkusan propaganda. Di sekolah Muhammadiyah tampaknya itu yang dijadikan siasat: membentangkan spanduk penerimaan sambil menyindir sekolah yang berbeda keyakinan. Tawaran toleransi ditenggelamkan oleh semangat fanatisme buta.

Seorang yang sangat populer, psikolog Austria, bernama Victor Frankl pernah mengatakan tentang kekuatan makna. Dikatakan olehnya, ‘pencarian seseorang akan makna adalah motivasi utama hidupnya….dan hanya dapat dipenuhi oleh dirinya sendiri…kita dapat menemukan makna dalam setiap bentuk dengan tiga cara yang berbeda (1) dengan menciptakan pekerjaan atau melakukan tindakan: (2) ….dengan menghayati sesuatu, misalnya alam atau kebudayaan atau,…dengan menghadapi ….manusia lain dalam keunikanya-dengan mencintainya….dan (3) melalui sikap kita menghadapi penderitaan yang tak terelakkan…makna masih bisa terdapat dalam penderitaan sekalipun

Kebermaknaan itu yang membuat pendidikan menjadi pematangan kedewasaan. Usai sudah sekolah yang hanya mengandalkan pola ‘hukum dan beri hadiah’. Keunggulan pribadi terbukti tak bisa memberikan insentif yang berarti bagi sebuah suasana sosial. Lebih-lebih di tengah petaka yang sepertinya tak pernah berakhir. Anak-anak kecil berusaha bunuh diri karena tak bisa bayar biaya pendidikan. Orang tua mengeluh karena semua harga barang-barang pokok terus naik. Susu, beras, minyak goreng bahkan air sekalipun diberi label harga. Dan pendidikan yang menjadi kebutuhan pokok tak bisa disentuh oleh mereka yang miskin. Jumlah resmi orang miskin 39,5 juta. Sebuah angka yang heboh untuk negeri yang merayakan ulang tahun kemerdekaan ke 62. Kini teman dihadapanku adalah lapisan sosial yang beruntung. Pengusaha dan politisi. Aku pun juga berada pada posisi beruntung. Pertanyaan yang mendesak diantara kami tak lain, bagaimana kami memberi manfaat untuk mereka yang kini banyak berposisi sebagai ‘tak beruntung’ ini?

‘ya aku kadang juga berfikir sama denganmu. Banyak anak-anak tak beruntung yang tak mampu sekolah. Tangan kita tak cukup kuat untuk memecah semua soal ini. Itu yang mengantarku untuk hidup di partai politik. Aku merasa punya tangan kuat untuk merubah kebijakan pendidikan yang selama ini kacau. Aku dapat memanggil menteri pendidikan untuk kutegur, kuperiksa bahkan kuadili. Cara ini kaunggap efektif untuk menyelesaikan kekusutan yang ada di lembaga pendidikan. Bukankah kau setuju dengan yang kulakukan. Lebih praktis dan langsung ada di jantung persoalan’

Akh temanku ternyata telah banyak berubah. Optimisme nya tentang partai mirip dengan kepercayaan kami waktu kecil. Kalau Superman itu ada dan mampu terbang hingga ke langit yang teramat tinggi. Rupa-rupanya ia aktivis partai yang tak pernah merasa ditegur oleh rakyatnya sendiri. Aku ingat dengan perkara tegur-menegur ini. Seorang bercerita padaku tentang pertemuan akbar di Muhammadiyah. Seorang menteri pendidikan yang berasal dari organisasi Muhammadiyah dikritik oleh kader muda yang gigih dan cerdas. Tanggapan dingin Mendiknas-yang bisa disebut kader Muhammadyah-menunjukkan betapa lemahnya disiplin organisasi ini. Kawanku seperti bermimpi, mengadili, bertanya, menyanggah kebijakan menteri. Mana mungkin jika Muhammadiyah sendiri, asal muasal pemegang kebijakan pendidikan, tak mampu untuk mengendalikanya. Tempat dimana Muhammadiyah lahir, Yogyakarta, menjadi contoh tauladan bagaimana komersialisasi dilangsungkan. Sekolah yang memang didedikasikan untuk orang-orang yang mampu. Bagaimanapun aku percaya, kalau cacat dunia pendidikan sekarang ini tak bisa dilepaskan dari tanggung jawab Muhammadiyah. Baik sebagai organisasi maupun para kadernya

‘kaufikir dengan mengadili seorang menteri semua soal akan selesai. Kaufikir mudah untuk merubah kebijakan dengan tindakan panggil-memanggil. Mustinya organisasimu Muhammadyah itu bisa melakukan langkah drastis. Menggratiskan pendidikan pada semua sekolah dasarnya, bukanya malah membuat mahal. Daftar ulang membayar, ujian membayar, piknik bayar lagi…semuanya berduit. Bahkan ada uang infak yang jumlahnya sudah ditentukan…itu namanya apa kalau tidak jual beli agama! Coba aku ingin tanya mana di kepulauan ini yang sekolah Muhammadiyah nya gratis? Tak malukah kalian dengan sekolah orang Tionghoa yang sudah 50 tahun membuat sekolah gratis. Tak malukah kalian dengan sekolah Dompet Dhuafa yang juga gratis? Rumah Zakat yang baru berusia muda yang juga buat rumah bersalin gratis? Gratis itu komitmen paling dini kawan untuk mengukur keberpihakan pada sesuatu yang kini diperlakukan secara komersial…maafkan aku jika aku agak kasar, mungkin aku terlampau berharap berlebihan terhadapmu. Aku tak ingin engkau seperti orang mapan yang punya banyak rasa takut, kehilangan inisiatif dan tak memiliki imaginasi’

Aku tiba-tiba ingin pulang kembali ke rumah. Pertemuan ini rasanya berjalan sia-sia dan berakhir dengan kepedihan. Aku panik karena kuatir kata-kataku terlampau tajam untuk didengar. Apa yang biasa kusampaikan di depan anak-anak muda tentu tak patut jika kukatakan dihadapan kawanku yang mapan dan sudah agak ubanan ini. Kutahan semua kegeramanku pada organisasi yang banyak melahirkan para pemuka dan penguasa. Presiden pernah memberi nasehat keliru, agar Muhammadiyah juga berperan sebagai kekuatan wirausaha tak hanya pendidikan. Padahal bagiku, pendidikan adalah kekuatan strategis dan terpokok dalam mengeluarkan bangsa ini dari lubang derita. Peran Muhammadiyah dalam pendidikan sepatutnya dihargai dan didorong dengan lebih optimal. Kalau pendidikan beres maka semua hal bisa diraih. Termasuk ekonomi. Apalagi kalau hanya menjadi wirausaha. Kembali Presiden menunjukkan jalan berfikir yang dangkal dan rapuh.

‘maaf jika aku menyinggungmu. Aku tak ingin pertemuan ini menjadi sebuah pertikaian yang tak berarti. Persahabatan kita lebih dalam ketimbang kedudukan kita saat ini. Aku sekali lagi minta maaf. Salam buat istrimu dan anak-anak. Aku kebetulan ada diskusi siang ini. Jika tak keberatan aku meminta alamat dan nomor HP mu. Maafkan aku kawan’

Kujabat tanganya dengan terburu-buru. Ia memberi nomor HP yang segera kucatat. Kujabat tanganya erat. Tiba-tiba ia memelukku erat

‘kawan kau sadarkan aku yang telah lama tenggelam. Aku punya pandangan sama denganmu. Hanya aku mungkin orang penakut yang kuatir akan perubahan cepat. Maafkan aku juga’

Ia tampak agak gugup dan tercengang. Diundurkanya kursi sambil berdiri dan menatapku agak lama. Ia berdiri dalam wajah yang lemah dan letih. Aku tahu aku telah membangunkan sesuatu yang telah lama terlelap dalam dirinya. Sebuah keyakinan yang dulu membuat kami terikat satu sama lain. Keyakinan yang membuat kita percaya akan kebesaran dan kekuatan negeri ini.

Kami bersama-sama meninggalkan rumah makan itu. Ia menawariku menumpang mobilnya. Kubilang aku membawa motor dan mengucapkan terimakasih atas tawaranya. Kami bersama –sama meninggalkan rumah makan yang mulai didatangi pengunjung yang ingin menuntaskan akhir pekan. Aku susuri jalan sambil mengingat-ingat kembali gugatanku pada pendidikan di Muhammadiyah. Sebuah gugatan yang dulu juga pernah dilampiaskan oleh Paulo Freire. Pendidikan yang membebaskan adalah konsep yang ditawarkanya. Freire. Pendidikan yang berusaha menanamkan kesadaran tentang realitas sosial. Di mata Freire seorang anak memiliki dan mempunyai kesadaran ganda. Kesadaran tentang diri dan kelas sosialnya. Melalui pendidikan seorang anak akan mengalami transformasi pengalaman yang bermakna. Untuk bisa lebih kritis atas sistem yang membelenggunya. Kemarahanku sama halnya dengan yang dikatakan Ivan Illich, seorang revolusioner pendidikan, yang mengatakan kalau selama ini pendidikan hanya mengemban tiga fungsi: 1) sebagai gudang mithos masyarakat 2) pelembagaan kontradiksi-kontradiksi yang dibawa oleh mitos tersebut 3) sebagai locus ritual yang mereproduksi serta menyelubungi perbedaan-perbedaan antara mithos dan realitas.

Mithos itu yang telah mengabaikan kesadaran kritis dan akal sehat pada para peserta didik. Mereka seperti kumpulan domba yang dicangkokkan dan digiring untuk bertindak sebagaimana yang diperintahkan. Di pinggir jalan ada sejumlah bimbingan belajar yang hanya mengajari anak menjawab soal, bukan bertanya. Pertanyaan kini jadi kecurigaan dan tampak mengkuatirkan. Tapi anak-anak yang dibesarkan di lingkungan naif ini bersemangat dan gemar untuk ikut dalam pasukan menjawab soal. Mereka yakin masa depan ada di tangan jenis spesies seperti itu. Jika begitu benarlah kritik yang selama ini dihadapkan pada pendidikan tradisional, yang tidak mampu memberikan kebebasan dan kepercayaan diri pada anak didiknya.Idam-idaman pada pendidikan progresif. sekarang ini baru batas mimpi dan sedikit sekolah yang berani melakukanya. Mungkin karena para guru enggan kehilangan wibawa atau sekolah kemudian jadi mirip sangkar arena bermain.

Kulewati sekolah Muhammadyah yang populer dan diburu-buru oleh banyak orang. Tembok tinggi menutup badan sekolah hingga tampak mirip penjara. Kadang aku bertanya siapa murid yang ada di dalamnya? Murid-murid yang pasti tak terlampau berani menatap keluar karena dibiasakan berpandangan sempit dan terbatas. Jalanan aspal itu hanya tampak kalau murid mau memanjat ke dinding dan mungkin itu akan disebut pelanggaran. Seorang murid yang ideal jaDI tampak kelihatan tua karena hanya mensyaratkan sikap diam, patuh dan tak pernah melanggar ketentuan sekolah. Sebuah ketentuan yang disusun untuk menertibkan dan mengelola sebuah fikiran. Alangkah mengerikanya sekolah semacam ini! Sebuah sekolah yang benar-benar mengadopsi ketertiban secara berlebihan. Anak-anak seperti boneka yang kebebasanya hanya diserahkan pada ketentuan dan kewajiban sekolah. Ini situasi yang tidak hanya dialami oleh sekolah Muhammadyah sendirian.

Semua sekolah kini seperti melakukan klaim yang mengerikan. Mereka bukan hanya mendidik tapi juga menghukum anak-anak didik untuk bisa memiliki kemampuan melebihi usianya. Gagasan pendidikan tradisional diambil alih dengan cara yang dramatis. Sebuah pendekatan yang selalu menilai anak punya potensi masalah ketimbang harapan. Pendidikan yang selalu melihat anak seperti ember kosong yang harus ditumpahi segalanya: pengetahuan, informasi, pengalaman dan pembelajaran. Syarat pendidikan berhasil adalah kemampuanya bisa diterima dan diakui oleh pasar kerja. Bahkan untuk disebut sekolah unggulan, ciri pertamanya adalah kemampuan berbahasa Inggris

. Tentu yang menjadi imbas pertama-tama adalah pembebanan biaya. Walau ada beberapa sekolah yang malahan gencar berkampaye biaya murah. Sebuah perguruan tinggi malahan membuat iklan yang mengenaskan: cukup dengan Rp 860.000 bisa kuliah loh! Seakan-akan pendidikan adalah pengalaman untuk meraih status, ijazah dan tentu gelar. Tak aneh jika seorang gurbenur mendapat penghargaan doktor karena tak mampu mengatasi banjir dan kemacetan. Ada bupati yang dapat gelar doktor dan kini sedang terancam untuk dimasukkan ke bui. Gelar hanya sebuah cara untuk meraih sesuatu yang nyatanya dapat dibeli dan ditukar dengan posisi politik. Betapa suramnya wajah pendidikan yang mulai kehilangan daya gugat, daya kritik dan sudah barang tentu, kemampuan untuk menggugat.

Di jalan beberapa spanduk tampak bertebaran. Sebuah sekolah Muhammadiyah membuka pendaftaran murid baru. Berdampingan dengan kata-kata promosi ada nama penerbit yang menjadi sponsor. Pemandangan umum dimana-mana. Penerbitan buku menjadi salah satu pendukung di spanduk. Mungkin ini semacam pengukuhan atas apa yang biasa dikeluhkan. Tentang aroma pendidikan yang berbau uang dan persekongkolan. Sekolah telah jadi tempat bergabungnya semua kepentingan. Ada uang seragam, daftar ulang, piknik, gedung dst. Tak habis-habis uang dikuras. Terutama untuk buku yang pekan-pekan ini diguncang berbagai isu-isu yang tak jelas. Bakar-bakar buku yang dilakukan oleh Kejaksaan mengingatkan kembali apa yang dulu dilakukan oleh pasukan Mongol. Ringkasnya pendidikan kemudian hanya jadi tempat dimana hukum jual-beli berlaku dengan cara serampangan. Aku memang hanya bisa melakukan kritik, mengurut dada perlahan dan kini mulai membuat sekolah tandingan. Tujuanku hanya satu, bagaimana membuat pendidikan jadi urusan yang lebih tinggi ketimbang kecerdasan dan meluluskan UAN. Pendidikan adalah jalan untuk meretas masa depan yang lebih baik sekaligus bersahabat. Sayangnya pendidikan memang kini hilang dari urusan penting negara. Negara turut campur untuk soal yang semustinya memberi banyak kebebasan. Soal kurikulum, soal penertiban guru hingga bagaimana mendirikan sekolah tampaknya menjadi kegemaran negara.

Motorku memasuki pelataran perumahan. Di samping pos satpam kulihat anak-anak kampung bermain layangan. Kakinya yang hitam dan gelap menandakan betapa banyak sudah tanah yang mereka injak. Rambut acak-acakan dan merah. Sinar matahari seperti memanggang kepala mereka. Wajah-wajah kusut yang mengeluarkan peluh ini kelak hanya akan menjadi barisan pengangguran. Jika tak ada pendidikan bermutu yang meyentuhnya. Andai tidak ada sekolah murah yang orangtuanya sanggup untuk menanggung. Kalau tak ada tangan organisasi keagamaan yang mulai berani meyentuh dan bertindak terhadap mereka. Kalau melihat mereka, aku tiba-tiba ingat KH Akhmad Dahlan. Seorang ulama yang pasti mendirikan organisasi Muhammadyah, diantaranya karena alasan sederhana. Membuat pendidikan rakyat yang mampu membantu mereka yang fakir dan terlantar. Kini masih banyak orang-orang miskin sebagaimana pada masa hidup beliau. Yang tidak ada adalah sosok seperti KH Akhmad Dahlan yang berani menanggalkan kepentingan pribadi untuk terlibat dan memprakarsai gerakan yang berdiri tegak membela kepentingan mereka yang lemah. Mungkinkah anak-anak muda IRM mampu membawa api semangat beliau? Aku agak malu untuk menjawabnya!



Disampaikan untuk acara IRM, 17 Agustus 2007. Sekali lagi jangan tersinggung dengan judul ini, karena sesungguhnya saya sangat kagum dengan Muhammadyah. Kekaguman yang membuat saya melakukan kritik dan harapan besar untuk organisasi yang rasa-rasanya sudah berusia udzur ini.

Penulis bebas dan seorang yang banyak punya teman yang sekolah di Muhammadyah maupun yang duduk dan menjadi pengurus disana.

Inilah kaidah Rumah Pengetahuan Amartya di bawah ikatan semboyan: Belajar untuk Berpihak dan Membela yang Lemah

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa struktur keluarga yang terjamin stabilitasnya adalah struktur keluarga tradisional, struktur komplementer. Suami misalnya, memainkan peran sebagai pencari makan, pencari nafkah atau pekerja social lainnya. Istri berperan sebagai ibu rumah tangga, yang memelihara anak, yang mengerjakan pekerjaan rumah. Lih Jallaludin Rakhmat, SQ For Kids, Mizan 2007

Di Indonesia sekolah Inklusi relative baru yang berpandangan akan kemajemukan adalah potensi utama dalam dasar-dasar pendidikan. Disana tak ada perbedaan kemampuan, kebangsaan dan agama anak. Semua dianggap memiliki potensi yang sama dan sebaiknya seorang anak tumbuh dalam kemajemukan seperti itu. Di Jogjakarta salah satu sekolah yang menerapkan prinsip inklusi adalah SD Tumbuh, agak mahal tetapi menarik dalam pengelolaan kurikulum.

Sebuah pendekatan tentang kemanfaatan itu ada dalam methodology yang kini baru diperkenalkan yakni Contextual Teaching & Learning yang mengangkat dua pertanyaan pokok: ‘konteks-konteks apakah yang tepat untuk dicari oleh manusia? Dan langkah-langkah kreatif apakah yang harus saya ambil untuk membentuk dan memberi makna pada konteks?. Sistem CTL adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan menolong para siswa melihat makna di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks dalam kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks keadaan pribadi, social dan budaya mereka. Lih Elaine B Johnson, Contextual Teaching & Learning, MLC, 2007

Lih Elaine B Johnson, PH.D, Contextual Teaching & Learning, MLC, 2007

Lih HAR Tillar, Manifesto Pendidikan Nasional, Kompas, 2005

Pedagogik Transformatif berupaya menstransformasikan potensi yang ada pada diri seseorang karena dia itu sebagai makhluk yang bebas, dan dengan menstransformasikan dirinya dia dapat menstransformasikan lingkunganya, adat-istiadatnya, lenbaga-lembaga masyarakat yang dimilikinya.

Gagasan pendidikan tradisional berangkat dari tesis (1) tidak ada teori yang dirumuskan secara koheren yang membahas kegiatan belajar dalam system pendidikan tradisional (2) motivasi didasari ganjaran, hukuman atau hadiah dan persaingan (3) belajar dengan menghapal dan menyimpan informasi tanpa bantuan catatan (4) modifikasi prilaku jadi dasar pembentukan system pendidikan (5) kurikulum tersembunyi menjadi dasar dalam kehidupan pelajar (6) modus dominant: guru bicara Lih Paulo Freire (editor) Menggugat Pendidikan, Pustaka Pelajar, 1999

Untuk sekolah yang dikategorikan unggulan akan mendapat dana Rp 300 juta per tahun. Sekolah Bertaraf International (SBI) menekankan beberapa cirri: (1) penyediaan sarana sekolah yang ramah tekhnologi serta model pembelajaranya menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar (2) TOEFL guru minimal 500. Kedua syarat ini yang mengantarkan 200 sekolah masuk kategori SBI dan sialnya belum ada kurikulum maupun Standarisasi yang jelas dari pemerintah. Tempo 19 Agustus 2007

Gurbenur DKI (yg sudah berhenti) Sutiyoso dapat gelar Doktor dari Universitas Diponegoro dan Bupati Kutai Kartanegara juga mendapat gelar Doktor

Mendiknas Bambang Soedibyo pada tanggal 5 Juli 2006 kirim surat kepada Jaksa Agung untuk melarang peredaran buku-buku sejarah yang menurutnya memutar-balikkan fakta yang kemudian membuat Kejaksaan melarang 13 buku pelajaran Sejarah yang diterbitkan oleh Erlangga, Yudhistira, Exact dan Grasindo. Buku itu diantaranya, Kronik Sejarah, Pengetahuan Sosial, Sejarah kelas II dan kelas III SMP, sejarah nasional dan umum untuk Tingkat SMA. Dasar Kejaksaan adalah UU Nomor 16/2004 dan UU Nomor 4/Pnps/1963 tentang Pengamanan Barang. Lih Tempo 19 Agustus 2007

Ada dua produk UU dalam system pendidikan kita (1) UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang dalam banyak pasal menetapkan tentang syarat-syarat pendirian sekolah yang begitu detail dan tidak membuka kemungkinan hadirnya sekolah alternative (2) UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen yang mengatur tentang standar guru. Dengan ketetapan yang penuh bersyarat itu mengingatkan kembali akan sikap pemerintah Hindia Belanda yang mengeluarkan Onderwijs Ordonantie (Undang-Undang Sekolah Liar) yang melarang pendirian sekolah di luar sekolah colonial dan kemudian ini ditentang oleh Ki Hadjar Dewantara, Lih Kompas 13 Agustus 2007
Sumber, http://www.irm.or.id/

Mempertanyakan Idealisme Mahasisawa Pasca Reformasi  

Diposting oleh Ivan Istyawan

“Tugas kita sebagai intelektual adalah menciptakan sejarah dengan membangun gerakan pemikiran dan kesadaran kritis untuk memberi makna masa depan kita sendiri”
(Alm. Mansour Faqih)
Mahasiswa Sebgai Agent Of Change. Jargon inilah yang mungkin akan kita dengar saat kita memasuki wilayah kerajaan ilmu bernama universitas. Pada saat yang lain Jargon ini juga akan terdengar lantang dan gagah saat demo berlangsung. Ada kebanggaan tersendiri ketika mendengar Jargon ini apalagi mampu melafalkannya dengan penuh jiwa yang meronta menyuarakan kesewenangan yang terjadi. Namun benarkah Jargon tersebut beserta mahasisawa yang menyuarakannya telah mampu menempatkan diri sebagai Agent Of Change.

Jika kita membaca sejarah kemerdekaan NKRI serta runtuhnyanya 2 rezim besar Indonesia : Orde Lama dan Orde Baru, maka jawab pastinya adalah YA! Sejarah telah membuktikan bahwa Jargon ini mampu mengantarkan mahasiswa menjadi patirot bangsa. Jargon ini akan selalu manjadi teman setia dalam perjuangan mahasiswa dalam melawan kesewenangan dan menemani keberpihakan mereka pada rakyat jelata yang sengsara secara struktural maupun kondisional. Mahasiswa, sebelum munculnya Reformasi tidak pernah mengenal kata mundur walau sejengkal. Hanya demi satu Visi Reformasi, mereka rela meregang nyawa dalam pentas Tragedi semanggi I dan II dan sejumlah kerusuhan Mei 1998. Mereka tak pernah mundur sejengkal walau telah diberlakukan Kebijakan represif berupa Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Hal ini memang menjadi sebuah kebijakan pemerintah untuk mengubah format organisasi kemahsiswaan dengan melarang Mahasiswa terjun ke dalam politik praktis, yaitu dengan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0457/0/1990 tentang Pola Pembinaan dan Pengembangan Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi, dimana Organisasi Kemahasiswaan pada tingkat Perguruan Tinggi bernama SMPT (Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi).
NKK/BKK menjadi dua akronim yag menjadi momok bagi aktivis Gerakan Mahasisiswa tahun 1980-an. Istilah tersebut mengacu pada kebijakan keras rezim Orde Baru (ORBA) melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef untuk membungkam aksi kritis mahasiswa terhadap jalannya pembangunan dan kebijaksanaan pemerintah saat itu ; yang dinilai tiran dan menyemgsarakan rakyat. Simbol institusi perlawanan mahasiswa saat itu adalah Dewan Mahasiswa, organisasi intra kampus yang berkembang di semua kampus. Karena Dewan Mahasiswa menjadi pelopor gerakan mahasiswa dalam menolak pencalonan Soeharto pasca pemilu 1977, kampus dianggap tidak normal saat itu dan dirasa perlu untuk dinormalkan. Lahirlah kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) sekaligus pembubaran dan pelarangan organisasi intra universitas di tingkat perguruan tinggi yaitu Dewan Mahsiswa. Dan sejak 1978 itulah, ketika NKK/BKK diterapkan di kampus, aktivitas kemahasiswaan kembali terkonsentrasi di kantung-kantung Himpunan Jurusan dan Fakultas. Mahasiswa dipecah-pecah dalam disiplin ilmu nya masing-masing. Ikatan mahasiswa antar kampus yang diperbolehkan juga yang berorientasi pada disiplin ilmunya, misalnya ada Ikatan Senat Mahasiswa Ekonomi Indonesia (ISMEI), Ikatan Senat Mahasiswa Pertanian Indonesia (ISMPI). Namun mahasiswa sebagai tulang punggung perjuangan tidak mau diam saja diberlakukan seperti itu. Mereka semakin menguatkan gerakan bawah tanahnya menjalin persatuan antar kampus dengan gerakan yang rapi hanya untuk satu tujuan yang bulat “Reformasi”. Hingga jatuhlah Orba yang bengis dan tiran.
Namun bagaimana dengan saat ini ? Kenapa mahasiswa seaakan tak mampu menampakkan dirinya. Seakan telah letih termakan usianya. Jargon mahasiswa sebagai Agent Of Change seakan tak mampu diteriakkan kapanpun dan dimanapun ia dibutuhkan. Ironis memang, mahasiswa setelah Orde Baru ini seakan menjadi macan ompong yang berada dalam kerumunan ayam dan tikus perusak komunitas bernama NKRI. Apakah kondisi seperti ini ini yang diharapkan oleh cucuran darah korban kerusuhan Mei 1998 ?Apakah semangat reformasi hanya akan muncul dibulan mei belaka ? Sebuah fenomena besar telah terjadi pada mahasiswa, sekarang mahasiswa seakan kehilangan visi dan arah gerak dan mudah di ombang ambingkan dalam dikotomi pergerakan dan yang berafiliasi pada kelompok tertentu.
Sudah saatnya mahasiswa kembali turun ke medan perjuangan dengan meneguhkan kembali idealisme sebagai Agent Of Change, jangan sampai terjerumus ke dalam kepentingan politik praktis yang justru bisa mengubur idealisme mahasiswa. Sulit dimungkiri bahwa politik saat ini sudah menjadi atmosfer yang menghegemoni kesadaran berbagai level kehidupan, termasuk mahasiswa. Di situlah pertaruhan mahasiswa untuk tidak terjebak dalam atmosfer dan tetap kukuh dengan idealismenya. Idealisme mahasiswa tidak serta-merta mematikan sensitivitas politiknya. Justru idealisme itu menjadi pandu agar suasana politik yang masih carut-marut bisa diluruskan kembali pada ruh reformasi yang disuarakan mahasiswa kala itu. Di sinilah idealisme mahasiswa dipertaruhkan dengan gagasan cemerlang bagi kepentingan negara dan bangsa. Dan akhirnya semoga kita mampu menruskan cita-cita reformasi dengan sikap yang bijak.
LKMM sebagai sarana kepemimpinan mahasiswa adalah sebuah sarana dalam rangka mewujudkan kembali mahasiswa yang Visioner terhadap perubahan bangsa kedepan. Dalam konteks persaingan Global Indonesia membutuhkan Mahasiswa yang memiliki Idealisme terhadap Cita yang luhur yang akan terus dikawal pada Era Post reformasi.Oleh karena itu saya selaku mahasiswa yang telah memasuki dunia perjuangan dan merasa sebagai elemen bangsa merasa perlu untuk mengikuti LKMM ini sebagai media penempaan diri dalam rangka menyongsong massa depan dengan Spirit Kritis Trans Formatis.