Mempertanyakan Idealisme Mahasisawa Pasca Reformasi  

Diposting oleh Ivan Istyawan

“Tugas kita sebagai intelektual adalah menciptakan sejarah dengan membangun gerakan pemikiran dan kesadaran kritis untuk memberi makna masa depan kita sendiri”
(Alm. Mansour Faqih)
Mahasiswa Sebgai Agent Of Change. Jargon inilah yang mungkin akan kita dengar saat kita memasuki wilayah kerajaan ilmu bernama universitas. Pada saat yang lain Jargon ini juga akan terdengar lantang dan gagah saat demo berlangsung. Ada kebanggaan tersendiri ketika mendengar Jargon ini apalagi mampu melafalkannya dengan penuh jiwa yang meronta menyuarakan kesewenangan yang terjadi. Namun benarkah Jargon tersebut beserta mahasisawa yang menyuarakannya telah mampu menempatkan diri sebagai Agent Of Change.

Jika kita membaca sejarah kemerdekaan NKRI serta runtuhnyanya 2 rezim besar Indonesia : Orde Lama dan Orde Baru, maka jawab pastinya adalah YA! Sejarah telah membuktikan bahwa Jargon ini mampu mengantarkan mahasiswa menjadi patirot bangsa. Jargon ini akan selalu manjadi teman setia dalam perjuangan mahasiswa dalam melawan kesewenangan dan menemani keberpihakan mereka pada rakyat jelata yang sengsara secara struktural maupun kondisional. Mahasiswa, sebelum munculnya Reformasi tidak pernah mengenal kata mundur walau sejengkal. Hanya demi satu Visi Reformasi, mereka rela meregang nyawa dalam pentas Tragedi semanggi I dan II dan sejumlah kerusuhan Mei 1998. Mereka tak pernah mundur sejengkal walau telah diberlakukan Kebijakan represif berupa Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Hal ini memang menjadi sebuah kebijakan pemerintah untuk mengubah format organisasi kemahsiswaan dengan melarang Mahasiswa terjun ke dalam politik praktis, yaitu dengan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0457/0/1990 tentang Pola Pembinaan dan Pengembangan Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi, dimana Organisasi Kemahasiswaan pada tingkat Perguruan Tinggi bernama SMPT (Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi).
NKK/BKK menjadi dua akronim yag menjadi momok bagi aktivis Gerakan Mahasisiswa tahun 1980-an. Istilah tersebut mengacu pada kebijakan keras rezim Orde Baru (ORBA) melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef untuk membungkam aksi kritis mahasiswa terhadap jalannya pembangunan dan kebijaksanaan pemerintah saat itu ; yang dinilai tiran dan menyemgsarakan rakyat. Simbol institusi perlawanan mahasiswa saat itu adalah Dewan Mahasiswa, organisasi intra kampus yang berkembang di semua kampus. Karena Dewan Mahasiswa menjadi pelopor gerakan mahasiswa dalam menolak pencalonan Soeharto pasca pemilu 1977, kampus dianggap tidak normal saat itu dan dirasa perlu untuk dinormalkan. Lahirlah kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) sekaligus pembubaran dan pelarangan organisasi intra universitas di tingkat perguruan tinggi yaitu Dewan Mahsiswa. Dan sejak 1978 itulah, ketika NKK/BKK diterapkan di kampus, aktivitas kemahasiswaan kembali terkonsentrasi di kantung-kantung Himpunan Jurusan dan Fakultas. Mahasiswa dipecah-pecah dalam disiplin ilmu nya masing-masing. Ikatan mahasiswa antar kampus yang diperbolehkan juga yang berorientasi pada disiplin ilmunya, misalnya ada Ikatan Senat Mahasiswa Ekonomi Indonesia (ISMEI), Ikatan Senat Mahasiswa Pertanian Indonesia (ISMPI). Namun mahasiswa sebagai tulang punggung perjuangan tidak mau diam saja diberlakukan seperti itu. Mereka semakin menguatkan gerakan bawah tanahnya menjalin persatuan antar kampus dengan gerakan yang rapi hanya untuk satu tujuan yang bulat “Reformasi”. Hingga jatuhlah Orba yang bengis dan tiran.
Namun bagaimana dengan saat ini ? Kenapa mahasiswa seaakan tak mampu menampakkan dirinya. Seakan telah letih termakan usianya. Jargon mahasiswa sebagai Agent Of Change seakan tak mampu diteriakkan kapanpun dan dimanapun ia dibutuhkan. Ironis memang, mahasiswa setelah Orde Baru ini seakan menjadi macan ompong yang berada dalam kerumunan ayam dan tikus perusak komunitas bernama NKRI. Apakah kondisi seperti ini ini yang diharapkan oleh cucuran darah korban kerusuhan Mei 1998 ?Apakah semangat reformasi hanya akan muncul dibulan mei belaka ? Sebuah fenomena besar telah terjadi pada mahasiswa, sekarang mahasiswa seakan kehilangan visi dan arah gerak dan mudah di ombang ambingkan dalam dikotomi pergerakan dan yang berafiliasi pada kelompok tertentu.
Sudah saatnya mahasiswa kembali turun ke medan perjuangan dengan meneguhkan kembali idealisme sebagai Agent Of Change, jangan sampai terjerumus ke dalam kepentingan politik praktis yang justru bisa mengubur idealisme mahasiswa. Sulit dimungkiri bahwa politik saat ini sudah menjadi atmosfer yang menghegemoni kesadaran berbagai level kehidupan, termasuk mahasiswa. Di situlah pertaruhan mahasiswa untuk tidak terjebak dalam atmosfer dan tetap kukuh dengan idealismenya. Idealisme mahasiswa tidak serta-merta mematikan sensitivitas politiknya. Justru idealisme itu menjadi pandu agar suasana politik yang masih carut-marut bisa diluruskan kembali pada ruh reformasi yang disuarakan mahasiswa kala itu. Di sinilah idealisme mahasiswa dipertaruhkan dengan gagasan cemerlang bagi kepentingan negara dan bangsa. Dan akhirnya semoga kita mampu menruskan cita-cita reformasi dengan sikap yang bijak.
LKMM sebagai sarana kepemimpinan mahasiswa adalah sebuah sarana dalam rangka mewujudkan kembali mahasiswa yang Visioner terhadap perubahan bangsa kedepan. Dalam konteks persaingan Global Indonesia membutuhkan Mahasiswa yang memiliki Idealisme terhadap Cita yang luhur yang akan terus dikawal pada Era Post reformasi.Oleh karena itu saya selaku mahasiswa yang telah memasuki dunia perjuangan dan merasa sebagai elemen bangsa merasa perlu untuk mengikuti LKMM ini sebagai media penempaan diri dalam rangka menyongsong massa depan dengan Spirit Kritis Trans Formatis.

This entry was posted on 23.51 . You can leave a response and follow any responses to this entry through the Langganan: Posting Komentar (Atom) .

0 komentar